SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU

PENDAHULUAN

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan Filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan Filsafat. Filsafat telah berhasil merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Dengan Filsafat, pola fikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio.
Pada pekembangan selanjutnya ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, obyek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pada gilirannya, cabang ilmu semakin subur dengan segala viariasinya. Namun tidak dapat juga dipungkiri bahwa ilmu yang semakin terspesialisasi itu semakin menambah sekat-sekat antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain, sehingga muncul arogansi ilmu yang satu terhadap ilmu yang lain. Tidak hanya sekedar sekat-sekat antar displin dan arogansi ilmu, tetapi yang terjadi adalah terpisahnya ilmu itu dengan nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu menjadi bencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa suatu sisi ilmu berkembang dengan pesat, disisi lain, timbul kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu karena tidak ada seorangpun atau lembaga yang meiliki otoritas untuk menghambat implikasi negatif dari ilmu.
Ilmu dan tekhnologi dalam konteks itu kehilanga ruhnya yang fundamental karna ilmu kemudian mengeliminir peran manusia dan bahkan manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi. Karena itu, Filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan umat manusia.
Adapun bagaimana perkembangan Filsafat ilmu dari segi historisnya, akan di bahas pada Bab selanjutnya.







SEJARAH DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU
A. Perkembangan Awal Pemikiran Filsafat Ilmu
Periode Filsafat Yunani merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola fikir mitosentris adalah pola fikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam seperti gempa bumi dan pelangi. Perubahan pola fikir itu terlihat sederhana tetapi implikasinya tidak sesederhana yang dibayangkan kerena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian di dekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif sehingga alam dijadikan obyek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari rahim Filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu periode perkembangan Filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.
Terjadinya perubahan yang besar dalam lapangan pengetahuan empiris yang berdasarkan sikap receptive attitude mind. Bangsa Yunani tak dapat menerima empirirs tersebut secara pasif-reseptif karena bangsa Yunani memiliki sikap jiwa: “an inguiring attitude, an inguiring mind”. Dengan demikian lahirlah pengetahuan filsafat yang pada zaman itu mempunyai arti yang lebih luas dari pada sekarang, yaitu meliputi semua bidang ilmu sebagai induk ilmu pengetahuan (mater scientarum).
Seperti yang kita ketahui bahwa secara bahasa Filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan/ kebenaran/ pengetahuan. Mencintai pengetahuan adalah awal proses manusia mau menggunakan daya fikirnya, sehingga dia mampu membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Orang Yunani awalnya sangat percaya pada dongeng dan takhayul, tetapi lama kelamaan, terutama setelah mereka mampu membedakan yang riil dan yang ilusi, mereka mampu keluar dari kungkungan mitologi dan mendapatkan dasar pengetahuan ilmiah. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagat raya.
Karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan penuh misteri, timbul rasa ingin mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam pikirannya; dari mana datangnya alam ini, bagaimana kejadiannya, begaimana kemajuannya dan kemana tujuannya? Pertanyaan semacam inilah yang selalu menjadi pertanyaan dikalangan filosof Yunani, sehingga tidak heran kemudian mereka disebut dengan filosof alam karena perhatiannya yang begitu besar kepada alam. Filosof alam ini juga disebut filosof pra Socrates, sedangkan Socrates dan setelahnya disebut dengan filosof pasca Socrates yang tidak haya mengkaji tentang alam, tetapi manusia dan perilakunya.
Dalam buku Filsafat Umum-nya Ahmad Tafsir yang dikutip oleh Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A dalam bukunya Filsafat Ilmu, dikatakan bahwa filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546SM). Pertanyaannya adalah “apa sebenarnya asal usul dari alam semessta ini?” pertanyaan ini sangat mendasar, terlepas apapun itu jawabannnya. Namun yang penting adalah pertanyaan itu dijawab dengan pendekatan rasional bukan dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur yang sangat penting dalam kehidupan. Dan air dapat berubah menjadi gas, seperti uap dan benda padat seperti es, dan bumi juga berasal dari air.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A mengutip dari buku Sejarah Filsafat Yunani karangan K. Bertens dikatakan bahwa setelah Thales, muncul Anaximandros (610-540SM). Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak terbatas, dan meliputi segalanya. Dia tidak setuju unsur utama alam adalah salah satu dari unsur-unsur yang ada, seperti air atau tanah. Unsur utama alam harus yang mencakup segalanya di atas segalanya, yang dinamakan apeiron. Jika ia adalah air, maka air harus meliputi segalanya termasuk api yang merupakan lawannya. Padahal tidak mungkin air menyingkirkan unsur api. Karena itu Anaximandros tidak puas dengan mnunjukkan salah satu unsur sebagai prinsip alam, tetapi ia mencari yang lebih dalam yaitu zat yang tidak dapat diamati oleh panca indra.¬¬¬¬
Berbeda dengan Thales dan Anaximandros, Heraklitos (540-480SM) melihat alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah; sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas berubah menjadi dingin. Itu berarti bahwa apa apabila kita hendak memahami kosmos, kita harus menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Segala sesuatu yang saling bertentangan dan dalam pertentangan itulah kebenaran. Karena itu dia berkesimpulan, tidak ada satu pun yang benar-benar ada, semuanya menjadi. Ungkapan yang terkenal dari Heraklitos dalam menggambarkan perubahan ini adalah panta uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada satupun yang tinnggal mantap).
Itulah sebabnya ia mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan dari sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah pada alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai symbol perubahan itu sendiri.
Filosof alam yang cukup berpengaruh adalah Parmanides (515-440SM) yang lebih muda umurnya dibandingkan Heraklitos. Pandangannya bertolak belakang dengan Heraklitos. Menurut Heraklitos, realitas seluruhnya bukanlah sesuatu yang lain dari pada gerak dan perubahan, sedangkan menurut parmanides, gerak dan perubahan tidak mungkin terjadi. Menurutnya realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Dia menegaskan bahwa yang ada itu ada. Inilah kebenaran. Coba bayangkan apa konsekuensi bila ada orang yang memungkiri kebenaran itu. Ada dua pengandaian, yang pertama adalah orang bisa mengemukakan bahwa yang ada itu tidak ada. Kedua, atau orang dapat mengemukakan bahwa yang ada itu serentak ada dan serentak tidak ada. Pengandaian pertama tertolak dengan sendirinya karena yang tidak ada memang tidak ada. Yang tidak ada tidak dapat dipikirkan dan menjadi obyek pembicaraan. Pengandaian yang kedua tidak dapat diterima karena antara ada dan tidak ada tidak terdapat jalan tengah, yang ada akan tetap ada dan yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang ada itu ada dan itulah satu-satunya kebenaran.
Phytagoras (580-500SM) mengembalikan segala sesuatu pada bilangan. Baginya tidak ada satu pun yang di alam ini terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan (kuantitas). Karena itu ia berpendapat bahawa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligusa menjadi ukuran. Kesimpulan ini ditarik dari kenyataan bahwa realitas alam adalah harmoni antara bilangan dan gabungan antara dua hal yang berlawanan. Kalau segala-galanya adalah bilangan, itu berarti bahwa unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Demikian juga seluruh jagad raya merupakan suatu harmoni yang mendamaikan hal-hal yang berlawanan. Artinya, segala sesuatu berdasarkan dan dapat dikembalikan pada bilangan.
Jasa Phytagoras ini sangat besar dalam perkembbangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat tergantung pada pendekatan matematika. Galileo menegaskan bahwa alam ditulis dalam bahasa matematika. Dalam Filsafat ilmu, matematika merupakan sarana ilmiah yang terpenting dan akurat karena dengan pendekatan matematikalah ilmu dapat diukur dengan benar dan akurat. Disamping itu, matematika dapat menyederhanakan uraian yang panjang dalam bentuk symbol sehingga lebih cepat dipahami.
Setelah berakhirnya masa filosof alam, maka muncul masa transisi, yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi fokus utama tetapi sudah mulai menjurus pada memberikan jawaban yang memuaskan sehingga timbullah kaum sofis. Kaum sofis ini memluai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh uatamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan cikal bakal humanisme. Pertanyaan yang muncul adalah apakah yang dimaksudnya itu manusia individu atau manusia secara umumnya. Memang dua hal itu menimbulkan konsekuensi yang sungguh berbeda. Namun tidak ada jawaban yang pasti, mana yang dimaksud oleh Protagoras. Yang jelas ia menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subyektif dan relative. Akibatnya tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika, maupun agama, bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.
Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias. Ia datang ke Athena pada tahun 427 SM dari Leontini. Menurutnya ada tiga proposisi: pertama, tidak ada yang ada, maksudnya relitas itu sebenarnya tidak ada. Pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak akan dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. Akal tidak juga mampu meyakinkan kita bahwa semesta alam ini ada karena akal kita telah diperdaya oleh dilema subyektivitas. Dan ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Pengruh positif kaum sofis cukup terasa karena mereka membangkitkan semangat berfilsafat. Mereka mengingatkan filosof bahwa persoalan pokok dalam Filsafat bukanlah alam melainkan manusia. Mereka juga membangkitkan jiwa humanism. Mereka tidak memberikan jawaban final tentang etika, agama dan metafisika. Ini membuka peluang bagi para filosof untuk lebih kreatif lagi dalam berfikir. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru. Dalam Filsafat ilmu, pandangan relative tentang kebenaran menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari ilmu. Karena itu, ilmu itu terbatas, tetapi proses mencari ilmu tidak terbatas.
Namun para filosof setelah kaum sofis tidak setuju dengan pandangan tersebut, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka menolak relativiasme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung pada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran obyektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan sehingga metode yang digunakannya biasanya disebut metode dialog karena dialog memiliki peranan penting dalam menggali kebenaran yang obyektif.
Socrates berpendapat bahwa kehidupan dan ajaran adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dasar dari segala penelitian dan pembahasan adalah pengujian diri sendiri. Bagi Socrates pengetahuan yang sangat berharga adalah pengetahuan tentang diri sendiri. Semboyan yang paling digemarinya adalah apa yang tertera pada Kuil Delphi, yaitu: “kenalilah dirimu sendiri”.
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan Filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara Filsafat alam dan Filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato yang sekaligus murid dari Socrates dan yang menulis ide-ide dari Socrates. Menurutnya, esensi itu mempunyai realitas dan realitasnya ada dalam alam idea. Kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea. Plato menggambarkan kebenaran umum adalah rujukan bagi alam empiris.
Plato berhasil mensintesakan pemikiran Heraklitos dan Parmanides. Menurut Heraklitos, segala sesuatu berubah, sedangkan menurut Parmanides, segala sesuatu diam. Untuk mendamaikan pandangan ini Plato berpendapat bahwa pandangan Heraklitos benar, tetapi hanya berlaku bagi alam empiris saja, dan pandangan Parmanides juga benar, tetapi hanya berlaku bagi idea-idea bersifat abadi dan idea inilah yang menjadi dasar bagi pengenalan yang sejati.
Puncak kejayaan Filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Ia murid Plato, seorang filosof yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar Filsafat yang dipersatukannya dalam suatu system; logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis: premis mayor, premis minor dan konklusi. Logika Aristoteles ini juga disebut dengan logika deduktif, yang mengukur valid atau tidaknya sebuah pemikiran.
Aristoteles yang pertamakali membagi Filsafat pada hal yang teoritis dan praktis. Yang teoritis mencakup logika, metafisika, fisika, sedangkan yang praktis mencakup etika, ekonomi dan politik. Pembagian ilmu inilah yang menjadi pedoman juga bagi klasifikasi ilmu dikemudian hari. Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar metode ilmiah secara sistematis.
Filsafat Yunani yang rasional itu boleh dikatakan berakhir setelah Aristoteles menuangkan pemikirannya. Akan tetapi sifat rasional itu masih digunakan selama berabad-abad sesudahnya sampai sebelum Filsafat benar-benar memasuki dan tenggelam dalam abad pertengahan. Namun jelas, setelah periode ketiga filosof besar itu mutu filsfat semakin merosot, kemunduran Filsafat itu sejalan dengan kemunduran politik ketika itu, yaitu sejalan dengan terpecahnya kerajaan Macedonia menjadi pecahan-pecahan kecil setelah wafatnya Alexander The Great. Tepatnya pada ujung zaman helenisme, yaitu pada ujung sebelum masehi menjelang neo Platonisme, Filsafat benar-benar mengalami kemunduran.
B. Perkembangan Pemikiran Abad Pertengahan Filsafat Ilmu
Perkembangan pemikiran abad pertengahan Filsafat ilmu itu dapat juga disebut dengan perkembangan Filsafat ilmu di zaman Islam. Sebelum di uaraikan sejarah dan perkembangan ilmu dalam Islam, ada baiknya diuraikan sedikit tentang pandangan Islam terhadap ilmu. Hal ini penting untuk diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan ilmu di sepanjang sejarah kehidupan umat Islam.
Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Muhhammad saw ketika diutus oleh Allah sebagai Rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang dimana paganism tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika rasulullah menerima wahyu yang pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca”. Dengan demikian, al-Qur'an dan hadis menjadi sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya. Selanjutnya kita akan masuk kedalam inti pembahasan, yaitu tentang sejarah dan perkembangan ilmu dalam Islam. Untuk memudahkan pemahaman kita penulis mencoba membagi sejarah perkembangan ilmu dalam Islam dalam beberapa zaman, seperti uraian berikut:
1. Penyampaian Ilmu Dalam Filsafat Yunani Ke Dunia Islam
Pengalihan pengetahuan ilmiah dan Filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan itu oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu kebudayaan asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebuadaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan pemahaman filosofisnya.
Dalam perjalanan ilmu dan juga Filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat rekonsiliasi dalam arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda, bahkan sering kali ekstrim antara pandangan Filsafat Yunani, seperti Filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan dalam Islam yang sering kali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh konkret dapat disebutkan bahwa Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab eklektisisme. Al- FArabi dalam hal ini memiliki sikap yang jelas krena ia percaya pada kesatuan Filsafat dan bahwa tokoh-tokoh Filsafat harus bersepakat diantara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan bahwa para filosof muslim mulai dari al-Kindi sampai Ibnu Rusyd terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relative baru dan menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran Filsafat dan penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak diragukan lagi, upaya-upaya rekonsiliasi oleh para filosof muslim ini menghasilkan afinitas dan ikatan yang kuat antara Filsafat Arab dan Filsafat Yunani.
Selanjutnya, ketika berbicara tentang proses penyampaian ilmu dan Filsafat Yunani ke dunia Islam, kita harus melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sisi lain itu adalah aktivitas penerjemahan. Menurut C. A. Qadir yang dikutip oleh Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. dalam bukunya Filsafat Ilmu, proses penerjemehan dan penafsiran buku-buku Yunani di negri-negri Arab di mulai jauh sebelum lahirnya agama Islam atau penaklukkan Timur Dekat oleh bagsa Arab pada tahun 614M. Jauh sebelum umat Islam dapat menaklukkan daerah-daerah di Tmur Dekat, pada saat itu Suriah merupakan tempat bertemunya dua kekuasaan dunia, Romawi dan Persia. Atas dasar itu bangsa Suriah disebut-sebut memainkan peranan yang sangat penting dalam penyebaran budaya Yunani ke Timur dan Barat. Dikalangan umat Kristen di Suriah, terutama kaum Nestorian, ilmu pengetahuan Yunani dipelajari dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah mereka. Walaupun tujuan uatama mereka adalah menyebarluaskan pengetahuan injil, namun pengetahuan ilmiah seperti ilmu kedokteran banyak diminati oleh pelajar.
Selain itu pada masa ini juga didapati pusat-pusat ilmu pengetahuan seperti Ariokh, Ephesus, dan Iskandariyah di aman buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
2. Perkembangan ilmu pada masa Islam klasik
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa pentingnya ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh Islam sejak awal, mulai masa Nabi sampai dengan Khulafaurrasyidin, pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan berjalan dengan pesat seiring dengan tantangan zaman.
Selanjutnya, seperti yang dikutip oleh Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., dari buku Kaki Langit Peradaban Islam karya Nurcholis Madjid, dikatakan bahwa satu hal yang patut dicatat dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan adalah peristiwa Fitnah Kubra, yang ternyata tidak hanya membawa konsekuensi, tetapi ternyata juga membawa perubahan besar bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu di dunia Islam. Pasca terjadinya Fitnatul Kubra muncul berbagai golongan yang berkembang kaarena alasan-alasan politis. Namun di luar konlik yang muncul saat itu, sejarah mencatat dua tokoh besar yang tidak ikut terlibat dalam perdebatan teologis yang cenderung mengkafirkan satu sama lain, tetapi justru mencurahkan perhatiannya pada bidang ilmu agama. Kedua tokoh itu adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Yang pertama mencurahkan perhatianya pada ilmu hadis, sementara yang disebut belakangan lebih berkonsentrasi pada ilmu tafsir. Kedua tokoh tersebut sering dianggap sebagai pelopor tumbuhnya institusi keulamaan dalam Islam. Sekaligus berarti pelopor kajian mendalam dan sistematis dalam bidang ilmu agama Islam.
Tahap penting berikutnya dalam proses perkembangan dari tradisi keilmuan Islam adalah masuknya unsur-unsur dari luar ke dalam Islam, khusunya unsur-unsur budaya Perso-Semitik dan budaya Hellenisme. Yang disebut belakangan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemikiran Islam ibarat pisau bermata dua. Satu sisi ia mendukung Jabariyah (antara lain oleh Jahm bin Safwan), sedang disisi lain ia mendukung Qadariyah (antara lain Washil bin Atha’, tokoh dan pendiri mu’tazilah). Dari adanya pandangan yang dikotomis antara keduanya, kemudian muncul usaha menengahi dengan menggunakan argument-argumen Hellenisme, terutama Filsafat Aristoteles. Sikap menengahi itu terutama dilakukan oleh Abu Hasan Al- Asy’ari dan al Maturidi yang juga menggunakan unsur Hellenisme.
Berdasarakan uraian di atas dapat ditarik hipotesa semntara bahwa pada masa awal Islam pengaruh Hellenisme dan juga Filsafat Yunani terhadap tradisi keilmuan Islam sudah sedemikian kental, sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itupun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya.
3. Perkembangan Ilmu Pada Masa Kejayaan Islam
Pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khusunya pada masa pemerintahan Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa Islam pada masa keemasannya, dimana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh dari kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (dark age).
Dalam sejarah Islam, kita mengenal nama-nama seperti al-Mansur, Al-Ma’mun, dan Harun Al-Rasyid, yang memberikan perhatian yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Pada masa pemerintahan al-Mansur misalnya, proses penerjemahan karya-karya filosof Yunani kedalam bahasa Arab berjalan dengan pesat. Dikabarkan bahwa al-Mansur telah memerintahkan penerjemahan naskah-naskah Yunani mengenai Filsafat dan ilmu, dengan memberikan imbalan yang besar kepada para ahli bahasa (penerjemah). Pada masa Harun Al-Rasyid (786-809) proses penerjemahan itu juga masih terus berlangsung. Harun memerntahkan Yuhana (Yahya) Ibn Musawayh, seorang dokter istana, untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa itu juga diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Siddhanta; sebuah risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim Al-Fajari. Pada masa selanjutnya oleh Al-Khawarizmi Siddhanta ini dibuat versi baru terjemahannya dan diberikan komentar-komentar.
Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa pemerintahan al-Makmun (813-833). Ia adalah seorang pengikutnmu’tazilah dan seorang rasionalis yang berusaha memaksakan pandangannya kepada rakyat melalui mekanisme Negara. Walaupun begitu, ia telah berjasa besar dalam mengembangkan ilmu dalam dunia Islam dengan membangun baitul hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan, sebuah observatorium, dan sebuah departemen penerjemahan. Orang terpenting di baitul hikmah adalah Hunain, seorang murid al-Musawayh, yang telah berjasa menerjemahkan buku-buku Plato, Aristoteles, Gelenus, Appolonius, dan Archimides. Selanjutnya pada pertengahan abad ke 10 muncul dua penerjemah terkemuka yaitu Yahya Ibn A’di dan Abu Ali Isa bin Ishaq bin Zera. Yahya banyak member komentar dan memperbaiki terjemahan mengenai karya-karya Aristoteles.
Selanjutnya pada masa perkembangan ini terdapat pula tokoh-tokoh Filsafat yang bergerak secara serius dalam kajian-kajian di luar Filsafat. Hal ini bisa difahami karena adanya kenyataan bahwa mereka menganggap ilmu-ilmu rasional sebagai bagian Filsafat. Atas dasar inilah mereka memperlakukan persoalan-persoalan fisika sebagaimana mereka memperlakukan masalah-masalah yang bersifat metafisika. Salah satu bukti nyata dari hal ini adalah kitab as-Syifa, sebuah ensiklopedi Filsafat Arab yang terbesar, yang berisi empat bagian. Bagian I mengenai logika, bagian II tentang fisika, bagian III tentang matematika, dan bagian IV membahas tentang metafisika. Dalam bagian fisika, Ibnu Sina memasukkan ilmu-ilmu Psikologi, zoology, geologi, dan botani, dan pada matematika, ia membahas geometri, ilmu hitung, astronomi, dan musik.
Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat dikategorikan ke dalam bidang eksakta, matematika, fisika, kimia, geometri, dan lain sebagainya, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu keislaman lainnya.
C. Perkembangan Masa Renaissance Filsafat Ilmu
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonaro da Vinci. Penemuan mesin percetakan dan ditemukannya benua baru oleh Colombus memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali sastra di Inggris, Perancis dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan Ronsard. Adanya penemuan ahli perbintangan seperti Copernicus dan Galileo menjadi dasar bagi munculnya astronomi modern yang merupakan titik balik dalam pemikiran ilmu dan Filsafat.
Teori Copernicus yang mengemukakan bahwa matahari berada dipusat jagad raya yang biasa disebut dengan teori Heliosentrisme, melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama astronomi. Bacon adalah pemikir yang seolah-olah meloncat keluar dari zamannya dengan melihat perintis Filsafat ilmu. Ucapan Bacon yang terkenal adalah Knowledge is power (pengetahuan adalah kekuasaan).
D. Perkembangan Masa Modern Filsafat Ilmu
Setelah Galileo, Fermat, Pascal, dan Keppler berhasil mengembangkan penemuan mereka dalam ilmu, maka pengetahuan yang terpencar-pencar itu jatuh ke tangan dua sarjana, yang dalam ilmu modern memegang peran yang sangat penting. Mereka adalah Issac Newton dan Leinbiz. Di tangan dua orang sarjana inilah sejarah ilmu modern dimulai.
Dimasa ini terjadi perkembangan ilmu kimia yang sangat pesat. Selain itu banyak ditemukan mesin-mesin tanpa ada dasar ilmunya melainkan atas dasar percobaan, misalnya mesin uap yang kemudian mendasari kereta api, percobaan-percobaan listrik dan lain-lain. Penemuan itu semuanya yang melandasi terjadinya revolusi industry terutama di Inggris yang kemudian meluas ke Eropa.
Secara singkat dapat ditarik sebuah sejarah ringkas ilmu yang lahir saat itu. Perkembangan ilmu pada abad ke 18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi ekonomi, kalkulus, dan statistika. Di abad ke 19 lahir semisal pharmakologi, geofisika, geormophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Abad ke 20 mengenal ilmu informasi, logika matematika, mekanika kuantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiobiology, oceanografi, antropologi budaya, psikologi dan sebagainya
Pada zaman modern Filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada dasarnya corak keseluruhan Filsafat modern itu mengambil warna pmikiran Filsafat sufisme Yunani, sedikit pengecualian pada Kant. Paham-paham yang muncul garis besarnya adalah rasionalisme, idealism, dan empirisme.
Sedangkan pada abad 20 aliran Filsafat banyak sekali sehingga sulit digolongkan, karena makin eratnya kerjasama internasional. Namun sifat-sifat Filsafat pada abad ini lawannya abad 19, yaitu anti positivis, pluratis, antroposentrisme, dan pembentukan subyektivitas modern.






DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Utama.
Salam,Burhanuddin. 2004. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta, PT. Rineka Cipta.