PENDAHULUAN
Sekiranya suatu sanad hadits yang diteliti telah memberikan petunjuk yang meyakinkan bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad itu siqoh dan sanadnya benar-benar bersambung, maka tidak ada alasan menolak bahwa kualitas sanad hadis tersebut sahih. Namun pada kenyataannya ada sanad hadis yang tampak berkualitas sahih dan setelah diteliti kembali dengan lebih cermat, misalnya dengan membanding-bandingkan semua sanad untuk matan yang semakna, hasil penelitian akhir menunjukkan bahwa sanad hadis yang bersangkutan mengandung kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat). Hal itu terjadi sesungguhnya bukan karena terdapat kelemahan pada diri kaidah kesahihan sanad yang dijadikan sebagai acuan, melainkan karena telah terjadi kesalahan langkah metodologis dalam penelitian. Mungkin saja lambing ‘an atau anna, atau qola tidak diteliti secara cermat dan setelah diteliti kembali secara lebih cermat, ternyata dibalik lambing-lambang itu terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan penelitian sanad masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syaz dan ‘illah belum dilaksanakan dengan cermat. Penelitian terhadap kedua hal tersebut memang termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap keadaan paramelainkan karena telah terjadi kesalahan langkah metodologis dalam penelitian. Mungkin saja lambing ‘an atau anna, atau qola tidak diteliti secara cermat dan setelah diteliti kembali secara lebih cermat, ternyata dibalik lambing-lambang itu terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan penelitian sanad masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syaz dan ‘illah belum dilaksanakan dengan cermat. Penelitian terhadap kedua hal tersebut memang termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap keadaan para periwayat dan persambungan sanad secara umum.
Adapun hadis yang didalmnya terdapat syuzuz disebut hadis syaz dan hadis yang didalamnya terdapat ‘illah disebut hadis mu’allal.
MENGENAL DAN MEMAHAMI SYADZ DAN MU’ALLAL
A. Mengenal dan Memahami Syadz
a. Pengertian Syadz
Dalam bukunya Ulumul Hadist, Abdul Majid Khon menyebutkan bahwa dari segi bahasa syadz berasal dari kata diartikan ganjil tidak sama dengan mayoritas.
Sedangkan menurut Prof. Dr. TM. Hasybi Ash-siddiqy dalam bukunya Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis Jilid I Syadz pada lughot berarti: orang yang terasing, tersendiri dari jama’ah ramai.
Dari segi istilah ada beberapa pendapat, yaitu sebagi berikut:
periwayatan orang tsiqoh menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqoh
periwayatan seorang tsiqoh sendirian dari orang-ornag yang tsiqoh lain.
Periwayatan seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqoh atau tidak, baik ia menyalahi periwayatan yang lain atau tidak.
Sedangkan ta’rief hadits syadz menurut lughat dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, adalah: orang yang terasing, tersendiri dari jama’ah ramai.
Pada ‘uruf ahli fikih, ialah:”Pendapat yang hanya dikatakan oleh seorang saja, sedang orang ramai menyalahi pendpatnya itu.”
Pada ‘uruf ahli hadis, ialah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang kepercayaan (orang tsiqoh) yang riwayatnya berlawanan dengan riwyat orang banyak yang kepercayaan pula, baik dengan menambah, atau dengan mengurangi.”
Al-Hakim berkata:
“hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang kepercayaan, padahal tiada mempunyai sesuatu mutabi’. (yakni tiada mempunyai sesuatu jalan yang lain yang menguatkan riwayat itu).”
Dan syadz itu berbeda dengan mu’allal. Mu’allal diketahui ‘illatnya yang menunjukkan kepada telah terjadi waham padanya, sedangkan syadz tidak diketahui ‘illatnya, tetapi orang yang menelitikan hadis itu terasa bahwa pada hadis itu ada sesuatu kesalahan.
Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa:” hadis syadz ini lebih sukar diketahui dari hadis mu’allal. Karena itu tidak dapat diketahuinya, melainkan oleh orang-orang yang sungguh-sungguh ilmunya dalam bidang hadis.
Asy-Syafi’I berkata:
“Bukanlah hadits syadz itu yang hanya diriwayatkan oleh seorang kepercayaan (orang tsiqoh) yang tidak diriwayatkan oleh selainnya. Syadz itu, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan (tsoqoh), yang berlawanan dengan riwayat orang ramai yang kepercayaan.”
Perkataan ini memberi pengertian bahwa syadz itu ialah yang menyalahai perawi yang rajah dari padanya, walaupun hanya seorang.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits syadz adalah hadis yang ganjil karena hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau periwayatnya yang menyalahi periwayatan orang tsiqoh atau yang lebih tsiqoh dan yang terakhir ini pendapat yang shahih. Jika periwayatan ornag dha’if menyalahi periwayatan orang tsiqoh disebut munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqoh menyalahi orang tsiqoh disebut hadits mahfidz.
Dalam buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi karya Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail dikatakan bahwa pendapat imam syafi’i merupakan pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis sampai saat ini. Berdasarkan pendapat imam syafi’i tersebut maka dapat ditegaskan bahwa kemungkinan suatu sanad mengandung syadz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadis yang memiliki satu sanad saja, tidak dikenal adanya kemungkinan mengandung syadz. Salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syaz pada suatu sanad hadis adalah dengan membadingkan sanad-sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau meiliki segi kesamaan.
Lawan untuk hadis syaz (hadis yang mengandung syuzuz) adalah hadiz mahfudz.
Dalam buku ushulul hadis karya M. ajaj al-Khatib dikatakan bahwa oleh karena criteria Syaz adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan mukholafah (penyimpangan), maka apabila ada seorang perawi yang berkualitas siqoh melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadis tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka hadisnya shahih, bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena criteria terjih lainnya, maka yang rajah disebut hadis mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.
b. Contoh Hadits Syadz
Sebagaimana hadis dha’if, syadz dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan. Contoh syadz pada sanad.
Hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan Ibnu majah melalui jalur Ibnu Unaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah saw. Dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakannya. Nabi bertanya: “apakah ada seorang yang menjadi pewarisnya?” Mereka menjawab, “Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kamudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya.”
Hammad bin Zaid (seorang tsiqoh, adil dan dhabit) juga meriwayatkan hadis di atas dari Amr bin Dinnar dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin Zaid syadz, sedang periwayatan ibnu Unaynah Mahfudz.
Contoh syadz pada matan, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy adri Abu Shalih dari Abu Hurairoh secara marfu’ (Rasulullah saw. Bersabda):
Jika telah shalat dua rakaat fajar salah seorang diantara kamu hendaklah tiduran pada lambung kanan.
Al-Baihaqi berkata: periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri diantata perawi tsiqoh.
B. Mengenal dan Memahami Mu’allal
a. Pengertian hadits mu’allal
Dalam bahasa mu’allal berasal dari akar kata ‘illah ( ) yang diartikan al-maradh artinya penyakit. Seolah-olah hadits ini terdapat penyakit yang membuat tidak sehat dan tidak kuat. Bagi kesehatan, penyakit ini merupakan cacat dan penghalang bagi kesehatan seseorang. Seseorang menjadi lemah kesehatannya ketika terserang suatu penyakit. Dalam istilah, ‘illah atau mu’allal adalah:
Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pada hadits kemudian membuat cacat dalam keabsahannya padahal lahirnya selamat dari padanya.
Hadits muallal adalah:
Hadits yang dilihat didalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat keshahihan hadits, padahal lahirnya selamat daripadanya.
Dari definisi diatas dapat difahami bahwa kriteria ‘illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadits. Jika cacat itu tidak tersembunyi dan tidak mengurangi keabsahan suatu hadis tidak disebut ‘illah. Namun bagi selain muhadditsiin, ‘illah terkadang diartikan cacat secara umum dalam hadits baik tersembunyi dan mencacatkan keabsahan suatu hadis atau tidak seperti sifat dusta, banyak kelupaan, dan lain-lain. Contoh ‘illah hadis, adakalanya seorang perawi meng-irsal-kan hadis yang marfu’/ maushul, me-mawqufkan suatu hadis yang marfu’ atau menyisipkan suatu matan hadis pada matan lain menjadi satu hadis.
Hadis mu’allal disebut juga dengan hadis ma’lul atau mu’all.
Illat hadis adakala dengan mengirsalkan yang mausul, yakni suatu hadis yang sebenarnya mausul _bersambung sanadnya kepada Nabi saw_tetapi diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
Atau hadis yang yang marfu’ diriwayatkan dengan sanad yang mauquf.
Sedangkan menurut M. Ajaj Al-Khatib bahwa hadis mu’allal adalah hadis yang tersingkap di dalamnya ‘illah qidihah, meski lahiriahnya terbebas darinya. ‘illatnya terkadang ada pada sanad, kadang pada matan, atau pada kedudanya. Umumnya ‘illat pada sanad seperti halnya irsal, al-waqt, inqita’ dan sejenisnya. Semua itu mempengaruhi kemuttasilan sanad dan menjadikan hadis tergolong dha’if.
b. terjadinya ‘illah
‘Illah bisa terjadi pada:
1) sanad saja dan ini yang lebih banyak, seperti me-mawqufkan suatu hadis yang semestinya mursal atau sebaliknya.
2) Pada matan, seperti hadis tentang membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah secara jahar (keras) dalam shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ‘ulama, diantaranya Syafi’I, ad-Daruquthni, Abdul Barr, al-Baihaqi, dan as-suyuti.
3) pada sanad dan matan sekaligus sehingga pengaruhnya jelas pada sanad dan matan sekaligus.
c. contoh hadis mu’allal
hadis yang diriwayatkan oleh at-tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb al-Mala’I dari al-a’masy dari Anas berkata:
adalah Nabi saw ketika hendak hajat tidak mengangkat kakinya sehingga dekat dengan tanah.
Hadis di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanadnya adalah orang yang tsiqoh, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan, bahwa al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat di belakang maqam Ibrahim.
Mengetahui ‘illah hadis termasuk ilmu hadis yang sangat tinggi, karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi dan tidak mudah mengetahuinya kecuali para ahli hadis yang memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berfikir. Diantara mereka Ibnu Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Abi Hatim dan Daruquthni. Namun secara umum dapat diketahui dengan cara menghimpun beberapa sanad, kemudian dianalisis perbedaan para perawi dalam meriwayatkan, tingkat hapalan, dan kedhabitan.
Contoh hadis yang mu’allal pada sanad:
Hadis yang diriwayatkan oleh ya’la Ibnu Ubaid At-Thanafisi, seorang yang tsiqoh, dari sufyan ats Tsauri dari ‘Amer Ibn Dinar, dari Ibnu Umar dari Nabi saw sabdanya:
“Penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”
Hadis ini, menurut sanad diatas muttasil, diriwayatkan oleh ornag yang adil, dari orang yang adil pula. Padahal sanad ini sebenarnya ma’lul _walaupun matannya sahih_ karena Ya’la bin ‘Ubaid telah bersalah pada perkataannya :Amer bin Dinar. Yang sebenarnya Abdullah bin Dina. Beginilah riwayat segala ahli hadis yang lain dari Ya’la bin ‘Ubaid itu. Dengan demikian jadilah riwayat Ya’la ma’lul sanadnya, sahih matannya, lantaran dikuatkan oleh sanad y ang lain.
Contoh mu’allal pada matan hadis:
Riwayat IbrahimThuman dari Hisyam ibn Hisan dari Muhammad ibn Sirin dari Abu Huroiroh dan Suhail ibn Abi Shaleh dari ayahnya dari Abu Huroiroh, katanya: Rasulullah saw bersabda:
Bila salah seorang diantara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia membasuh dua telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkan keduanya kedalam wadah. Karena ia tidak tahu kemana saja tangannya semalam. Kemudian ciduklah air dengan tangan kanannya dari wadah itu, lalu siramkannlah ke tangan kirinya dan lalu basuhlah pantatnya.
Abu Hatim ar-Raziy mengatakan, selayaknya kalimat “kemudian ciduklah…”merupakan pernyataan Ibrahim Ibn Thuhman, yang menyambungkan pernyataannya itu dengan hadis sehingga pendengar tidak bisa membedakan.Lihat ‘ilalulhadis karya Ibnu Hatim hal 65, juz 1. pernyataan perawi yang ditemukan atau disambungkan dengan hadis disebut “idraj”. Namun bila perawi menandai pernyataannya dan menjelaskan bahwa pernyataannya itu merupakan penegasan dari hadis maka kita tidak menilainya sebagai ‘illah qadihah (‘illah yang mencacatkan hadis). Adapun bila ia ditanya apakah semuanya merupakan hadis lalu ia menjawab “ya” maka kita bisa mentolerirnya. Karena yang terjaga hanya yang bagian petama saja sehingga ‘illah itu mencacatkan hadis.
Contoh hadis yang mu’allal pada sanad dan matan:
Hadis riwayat Baqiyyah dari Yunus dari Azzuhri dari salim dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:
“Orang yang menemukan satu roka’at salat jum’at dan yang lain, maka ia telah menemukan pahala jama’ah”
Abu Hatim ar-Razi mengatakan ini merupakan kesalahan sanad dan matansekaligus. Yang benar adalah az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu hurairah dari Nabi saw beliau bersabda:
“Orang yang menemukan satu roka’at di suatu sholat, maka ia telah menemukannya.”
Adapun pernyataan “Min Shalat Al-Jum’ah” tidak termasuk ke dalam hadis. Sehingga terdapat kesalahan dalam sanad dan maan sekaligus.
d. Kitab-kitab hadis mu’allal
Diantara kitab yangmenjelaskan hadis mu’allal adalah sebagai berikut:
a. kitab al-‘ilal, karya Ibnu al-Madini
b. ‘ilal al-hadits, karya Ibnu Abu Hatim
c. Al-‘Ilal wa Ma’rifah ar-Rijal, karya Ahmad bin Hanbal.
d. Al-‘ilal Ash-Shagir wa al-‘Ilal Al-Kabir, karya At-Tirmidzi
e. Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits An-Nabawiyah, karya Ad-Daruquthi.
C. HUKUM HADIS SYADZ DAN MU’ALLAL
Menurut M. “ajaj Al-Khatib, bahwa kedu hadis tersebut tergolong pada hadis dho’if. Maka hukum kedua hadis tersebut sama dengan hukum hadis dho’if.
Ada tiga pendapat dikalangan Ulama dalam penggunaan hadis dho’if.
a. hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadho’il maupun ahkam. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu al-arabiy. Tampaknya ini juga merupakan pendapat imam Bukhora dan imam muslim, berdasarkan kriteria-kriteria yang kita fahami dari keduanya, ini merupak pendapat ibnu Hazm pula.
b. Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Pendpaat ini dinisbatkan kepada Abu daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat hadis dho’if lebih kuat dari pada ra’yu perseorangan.
c. Hadis dha’if dapat digunakan dalam masalah fadho’il, mawa’idz atau yang sejenis bila memebuhi syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut:
- kedha’ifannya tidak terlalu
- hadis dha’if itu masuk cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan
- ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.
Pendapat Penulis buku …… mengenai masalah ini:
Tak syak lagi bahwa pendapat pertamalah yang paling selamat. Kita memiliki hadis-hadis shahih tentang fadho’il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi saw yang sangat padat dalam jumlah besar. Hal ini cukup menjadikan kita tidak perlu meriwayatkan hadis dha’if mengenai masalah fada’il ataupuan sejenisnya. Lebih-lebih fadha’il dan makarimul akhlak termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal itu dengan ahkam ditinjau dari segi kekuatan sumbernya, yakni shahih maupuan hasan. Sehingga wajiblah sumbernya adalah khabar-khabar yang bisa diterima.
KESIMPULAN
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits syadz adalah hadis yang ganjil karena hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau periwayatnya yang menyalahi periwayatan orang tsiqoh atau yang lebih tsiqoh dan yang terakhir ini pendapat yang shahih. Jika periwayatan ornag dha’if menyalahi periwayatan orang tsiqoh disebut munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqoh menyalahi orang tsiqoh disebut hadits mahfidz.
hadis mu’allal adalah hadis yang tersingkap di dalamnya ‘illah qidihah, meski lahiriahnya terbebas darinya. ‘illatnya terkadang ada pada sanad, kadang pada matan, atau pada kedudanya. Umumnya ‘illat pada sanad seperti halnya irsal, al-waqt, inqita’ dan sejenisnya. Semua itu mempengaruhi kemuttasilan sanad dan menjadikan hadis tergolong dha’if.
Hukum menggunakan kedua hadis tersebut di atas adalah tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadho’il maupun ahkam. Karena kita memiliki hadis-hadis shahih tentang fadho’il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi saw yang sangat padat dalam jumlah besar. Hal ini cukup menjadikan kita tidak perlu meriwayatkan hadis dha’if mengenai masalah fada’il ataupuan sejenisnya. Lebih-lebih fadha’il dan makarimul akhlak termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal itu dengan ahkam ditinjau dari segi kekuatan sumbernya, yakni shahih maupuan hasan. Sehingga wajiblah sumbernya adalah khabar-khabar yang bisa diterima.
DAFTAR PUSTAKA
As-Siddiqy, T.M. Hasbi. 1958. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis I. Jakarta:Bulan Bintang.
Ismail, M. Syuhudi. 2007. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2009.Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
MENGENAL DAN MEMAHAMI SYADZ DAN MU’ALLAL
Posted by The Callasandra of Hanafiah on 07.14
Posting Komentar