Jika hidup adalah sebuah perjalanan, maka aku ibaratnya sedang berada di bawah gunung terjal. Di atas sana ku melihat teman-teman ku berhasil mencapai puncak dengan segala usaha yang mereka tempuh. Mereka tersenyum menatap langit, mereka bahagia dengan hasil yang mereka dapatkan. Tak lagi ada rasa lelah, semua terbayar dengan keindahan alam yang mereka dapatkan dipuncak sana.
Aku, merunduk, menatap tanah, aku masih disini, dibawah sini.
Adakah mereka peduli untuk menolongku naik ke atas?
Aku seperti kehilangan arah,
Aku mendilema..
Orang tua ku bilang, nak, tolong dengarkan perkataan Bunda, sayang, janganlah kau menaiki gunung yang terjal itu. Bunda tak mau ada sesuatu yang buruk terjadi pada mu sayang…
Aku menangis menatap mata Bunda yang berkaca-kaca…
Ayah, beliau hanya terdiam menggenggam tangan Bunda. Berusaha menguatkan Bunda, takut-takut aku mengambil keputusan yang akan mebuat Bunda ambruk…
Tapi Bunda, Ayah, diatas sana akan kudapati kebahagian hakiki…pliss, bun, yah,,izinkan aku mendaki gunung terjal itu…
Tolong…bolehkan aku..
Aku mulai menangis, merengek restu mereka. Aku ingin meraih kebahagiaan hakiki itu, walau ku tau, jalan yang akan ku tempuh, akan sangat berat dan mematikan.
Tapi, itulah perjuangan…
Bagi ku, hidup akan berarti jika aku mempu ke puncak sana.
Pliss bun…izinkan aku…
Kami,_Bunda, Ayah dan aku_menangis terisak.
Aku berbalik arah, menatap kembali teman-temanku yang beberapa waktu lalu ku lihat jatuh bangun mendaki gunung terjal di hadapanku ini….
Dipuncak sana mereka tampak sangat, sangat bahagia,,
Walau wajah mereka tak sama sekali terlihat, tapi aku tau, pasti mereka bahagia…
Aku pun menyeret berat kakiku menuju jalan sempit berliku, menanjak terjal..
Aku telah membulatkan tekad untuk mendaki gunung terjal itu dan meraih kebahagiaan hakiki!!, batinku
Tapi, lagi-lagi isakan tangis orang tua ku membuatku tertahan dan menunduk menatap tanah…
Tuhan….tolong aku…
[ Read More ]

LAPORAN OBSERVASI PENGEMBANGAN KURIKULUM DI MAN 4 MODEL JAKARTA SELATAN
(Oleh: Fawzul Aifin, Hikmah Hayati, Silvia Oktaviani, dan Siti Aminah)
A. HAL YANG DIJADIKAN PERTIMBANGAN DALAM MEMBUAT VISI DAN MISI
Pertanyaan: Bagaimana Bapak membuat visi dan misi, lalu hal apa saja yang dijadikan pertimbangan?
Bapak Khoirunnas, S.pd menjawab, hal yang di pertimbangkan dalam membentuk kalimat “Pengembang Pendidikan Islami, Unggul dalam Prestasi” adalah kebutuhan masyarakat akan pendidikan berbasis islam yang bermutu dan berkualitas.
Adapun makna dari kalimat”Pengembang Pendidikan Islami” adalah sebuah amanah yang dijunjung MAN 4 sebagai madrasah yang merupakan sekolah setingkat lanjutan atas yang menekankan basis kependidikan islam bukan hanya dalam kurikulum, tapi lebih dari itu pada akhlak dan karakter civitas akademikanya.
Dampak kalimat tersebut terhadap pengembangan kurikulum MAN 4 Model adalah guru selalu berusaha mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur’an dalam setiap materi yang ada di silabus dan RPP. Contoh pada pelajaran Biologi, ketika materi yang akan di bahas adalah tentang Sel maka guru memberikan ayat-ayat al-Qur’an tentang Sel pada para siswa. Gunanya adalah untuk memberikan ruh Islam pada setiap mata pelajaran dan mengembangkan pendidikan islami itu sendiri.
Sedangkan kalimat “Unggul dalam Prestasi” merupakan harapan dan cita-cita yang tinggi yang ingin diraih MAN sebagai madrasah yang berkualitas. Kalimat”Ungggul dalam Prestasi” baik akademik maupun non akademik dilatar belakangi oleh keinginan para guru untuk menciptakan madrasah yang mampu bersaing dengan sekolah umum. Walaupun pada prakteknya sangat sulit untuk menyamakan grade antara MAN dengan IC (International Class) dikarenakan grade inputnya pun sangat berbeda. Adapun pada proses penerimaan siswa baru di MAN 4, hal yang dijadikan pertimbangan adalah kuota (kuantitas), bukan kualitas. Sedangkan sekolah umum berbasis Internasional, mengutamakan kualitas, bukan kuantitas.
Namun, madrasah yang statusnya sebagai Madrasah Rintisan Taraf Internasional ini, menurut Bpk. Unas, (panggilan akrab bapak Khoirunnas) tetap unggul di bidang akademik jika di bandingkan dengan sekolah menengah umum lainnya. Ini dibuktikan dengan, terpilihnya beberapa orang siswa MAN 4 sebagai peserta olimpiade sains di tingkat Nasional pada tahun 2010. Adapun di bidang non akademis, menurut beliau, kantor saja, sampai tidak cukup untuk menampung piala atau thropi yang di dapatkan anak-anak. Baik di bidang olahraga ataupun seni, siswa-siswi MAN 4 selalu berprestasi.

B. CARA MENSELEKSI ATAU MENGORGANISASI BAHAN AJAR (TERKAIT DENGAN PELAJARAN PAI)
Pertanyaan : Bagaimana Bapak/Ibu menyeleksi dan mengoganisasi bahan ajar?
Kami menyusun bahan ajar dengan cara mengembangkan SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) yang ada di BSNP. Berkaitan dengan buku paket yang digunakan sebagai panduan pembelajaran itu sepenuhnya menjadi kebijakan sekolah dan guru mata pelajaran yang bersangkutan. Berhubung di sekolah disediakan area Hotspot dan masing-masing siswa telah memiliki laptop sehingga bahan ajar tidak terpaku dari buku paket saja, melainkan lebih banyak berasal dari internet.

C. KEBIJAKAN SEKOLAH MENGENAI METODE PELAKSANAAN KURIKULUM
Petanyaan: Adakah kebijakan dari sekolah terkait dengan pelaksanaaan kurikulum (metode pengajaran)?
Jawaban : Menurut Bapak Unas ada kebijakan dari sekolah mengenai metode pengajaran yang dilaksanakan. Yaitu guru diwajibkan menggunakan active learning dimana peran guru hanya 30% dan selebihnya siswa yang berperan aktif. Kebijakan ini didukung dengan disediakannya sarana dan prasarana yang sangat memadai. Seperti LCD di setiap kelas, perpustakaan mini di setiap kelas, dan juga hotspot.
Kebijakan tersebut terdapat dalam buku panduan peserta didik MAN 4 Model. Yaitu, “Untuk kegiatan tatap muka pada saat ini MAN 4 memberlakukan strategi yang bervariasi baik ekspositori, inquiri, dan discovery. Metode yang digunakan adalah ceramah interaktif, presentasi, diskusi kelas, diskusi kelompok, pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstrasi, eksperimen, observasi di sekolah, eksplorasi, kajian pustaka atau internet, tanya jawab dan simulasi. Sedangkan untuk kegiatan tugas terstruktur berupa penugasan observasi lingkungan atau proyek. Adapun kegiatan tugas terstruktur merupakan kegiatan pembelajaran yang mengembangkan kemandirian belajar peserta didik, peran guru sebagai fasilitator, tutor, teman belajar. Strategi yang disarankan adalah discovery inquiri dan tidak disarankan dengan strategi ekspositori. Metode yang digunakan seperti diskusi kelompok pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, demonstratif, eksperimen, observasi di sekolah, eksplorasi, dan kajian pustaka atau internet, atau simulasi.”
Adapun kebijakan sekolah yang berkenaan dengan penyusunan jadwal mata pelajaran adalah sekolah menempatkan mata pelajaran eksak di pagi hari walaupun pada pelaksanaannya ada satu atau dua kelas yang mendapatkan pelajaran tersebut pada siang hari. Dan mata pelajaran non eksak di siang hari.
Di MAN 4 satu pelajaran terdiri dari dua jam(@45 menit). Antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lain disediakan waktu 5 menit untuk melakukan moving class (perpindahan kelas).

D. CONTROL ATAU MONITORING PELAKSANAAN KURIKULUM
Pertanyaan : Bagaimana Bapak melakukan monitoring atau control terhadap pelaksanaan kurikulum? Apakah hanya mengandalkan supervisor (eksternal sekolah) atau ada mekanisme tersendiri?
Jawaban : Control atau monitoring yang dilakukan oleh Badan supervisi pendidikan biasanya dilakukan pada awal tahun pelajaran.
Dan karena MAN 4 adalah Madrasah Rintisan Bertaraf Internasional, maka supervisor dari luar sering melakukan pemantauan secara incidental. Namun ada juga yang dilakukan secara berkala sesuai jadwal yang disepakati.
Sedangkan mekanisme control dan monitoring yang dilakukan oleh tim supervise internal, dilakukan setiap satu bulan sekali, satu minggu tiga kali, bahkan guru piket memantau pelaksanaan kurikulum perharinya.
Adapun hal-hal yang disupervisi oleh tim supervisi internal adalah :
1. Perangkat pembelajaran yang dibuat setiap awal tahun pada rapat kerja tahunan.
2. Strategi dan metode penyampaian materi pembelajaran. Jika ada guru yang menggunakan metode ceramah, maka akan dicatat oleh guru piket atau tim supervise secara incidental. Yang kemudian akan ditindak lanjut padasaat evaluasi pelaksanaan kurikulum bulanan.
Sedangkan yang melakukan pengontrolan adalah:
1. Tim supervise internal yang terdiri dari; wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan asistennya. Tim supervise internal melakukan pengontrolan tiga kali seminggu secara incidental. Dan perharinya tim ini menargetkan tiga orang guru yang di supervise. Contoh menanyakan indicator pembelajaran untuk hari ini kepada guru bidang studi.
2. Guru piket yang terdiri dari tiga orang perharinya. Guru piket mengontrol guru mana saja yang tidak masuk kelas, telat masuk kelas dan kemudian menindak lanjutinya dengan cara menghubungi guru tersebut via telepon.
3. Siswa. Siswa melakukan kontroling dengan cara menulis berita acara pembelajaran persesi mata pelajaran, apakah gurunya masuk atau tidak, apakah guru memberikan tugas atau tidak. Control ini disebut monitor bentuk tulis yang nantinya catatan berita acara diberikan pada guru piket.

E. KEBIJAKAN SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI GURU
Pertanyaan : Adakah sebuah kebijakan untuk memberikan kesempatan kepada para guru untuk mengikuti pelatihan-pelatihan?
Jawaban : Ya, sekolah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mngikuti pelatihan-pelatihan guna mengembangkan potensi para guru. Bahkan lebih sering pelatihan-peltihan tersebut di adakan oleh pihak MAN 4 sendiri. Contohnya pelatihan Multiple Intelligence yang di adakan pada tanggal 28-31 Mei Di MAN 4.
Adapun waktu yang di agendakan MAN 4 untuk mengadakan pelatihan adalah awal Tahun, pertengahan Tahun, dan akhir Tahun (Tahun ajaran).
Berhubung madrasah ini adalah madasah yang sedang dalam proses pemantauan menuju madrasah bertaraf internasional, maka sekolah sering mengadakan pelatihan-pelatihan IT (ilmu teknologi) dan active learning. Contoh: pelatihan Microsoft word, excel, power point, membuat blog, membuat facebook dan lain-lain.
Pelatihan-pelatihan yang di adakan di MAN 4 ditujukan untuk semua pendidik dan tenaga kependidikan. Jadi tidak ada diskriminasi antara guru bidang studi yang satu dengan guru bidang yang lain. Namun memang ada pelatihan-pelatihan yang di adakan oleh instansi-instansi pendidikan seperti Depag dan Diknas untuk guru bidang studi tertentu. Contoh pelatihan pembuatan modul IPA se-DKI Jakarta.
[ Read More ]

PENDAHULUAN
Berbagai pengalaman kita lalui dalam kehidupn beragama. Ada orang yang sejak kecil taat beragama, sampai dewasa ketaatan beragamanya tidak berubah, bahkan meningkat. Sebaliknya ada pula orang yang ketatannya melaksanakan ibadah berkurang setelah ia mengalami kemajuan di bidang jabatan dan materi. Ada orang yang semakin tinggi pangkatnya, semakin rajin shalatnya, sebaliknya ada orang yang menghentikan shalatnya karena mengalami kekecewaan dalam hidupnya.
Berapa banyak orang yang kehilangan makna hidup, sampai akhirnya orang tersebut mencari jalan untuk melepaskan diri dari ketakutan, kebingungan, kesedihan dan kekecewaan. Kalau saja mereka mau mendengar seruan Allah untuk sabar dan shalat sebagai penolong, tentunya orang tersebut akan menemui apa yang dicarinya.
Untuk membantu manusia dalam menghadapi dirinya yang sedang menghadapi berbagai masalah itu, maka Allah menyuruh kita shalat, disamping kita harus bersabar.
Dengan shalat manusia tidak akan merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan. Walaupun ia tidak melihat Allah, namun ia sadar bahwa Allah senantiasa bersamanya dan selalu menjadi penolongnya. Dengan kondisi keijiwaan seperti itu ia mampu mengungkapkan perasaannya kepada Allah, ia akan berdoa memohon dan mengadu kepada Allah.
Dengan analisis kejiwaan demikian dapat kita pahami bagaimana berperannya sabar dan shalat dalam diri mannusia, sehingga benar-benar dapat menjadi penolong dalam menentramkan batin dan menjadi penolong dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Kami, pemakalah akan menjelaskan lebih lajut mengenai shalat dan hubungannya terhadap kesehatan mental.





SHALAT DAN KESEHATAN MENTAL
A. Hubungan Antara Shalat dan Kesehatan Mental
Apabila shalat wajib yang lima waktu kita tinjau dari segi kesehatan mental, maka akan dapat kita pahami mengapa shalat itu diwajibkan Allah dan apa sebab mengapa jumlahnya lima kali dalam shari semalam, mengapa waktu bagi masing-masingnya ditentukan pula dan tidak boleh didahului dan tidak boleh dilampaui.
Ibadah shalat adalah ajaran agama yang diwahyukan dari Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu ibadah shalat pasti mempunyai banyak hikmah didalamnya. Kalau kita pelajari al-qur’an dan as-sunnah maka akan kita temukan pennjelasan tentang hikmah dari pelaksanaan shalat, diantaranya yaitu pengaruh pelaksanaan terhadap kesehatan mental manusia.
Dalam shalat terjadi hubungan rohani atau spiritual antara manusia dengan Allah. Dalam aksi spiritualisasi islam, shalat dipandang sebagai munajat (berdoa dalam hati dengan khusu’) kepada Allah. Orang yang sedang shalat, dalam melakukan munajat, tidak merasa sendiri. Ia merasa seolah-olah berhadapan dengan Allah, serta didengar dan diperhatikan munajatnya. Suasana spiritualitas shalat yang demikian, dapat menolong orang mengungkapkan segala perasaan, keluhan dan permasalahannya kepada Allah. Dengan suasana shalat yang khusu’ itu pula orang memperoleh ketenangan jiwa (annafsul muthmainnah) karena merasa diri dekat dengan Allah dan meperoleh ampunannya.
Bagi manusia yang melaksanakan shalat wajib secara terus menerus dan melaksanakan shalat sunnah secara rajin. Dan semua shalat itu dilaksanakan secara khusu’ maka nilai-nilai kesehatan mental yang terkandung didalam ibadah shalat tersebut akan berpengaruh pada dirinya. Nilai-nilai kesehatan mental yang terdapat dalam ibadah shalat tersebut tertuang dalam bentuk fungsi shalat sebagai pengobat (curative), pencegah (preventive), pembina (constructive), dalam kesehatan mental.
a) Shalat sebagai obat bagi gangguan jiwa
Satu hal yang disebutkan dalam sebuah hadits, berkaitan erat dengan perawatan kejiwaan, yaitu orang yang melaksanakan shalat dengan baik, wudhunya sempurna, dilaksanakan tepat pada waktunya dan terpenuhi semua rukun dan syaratnya disertai dengan khusu’, maka Allah akan memberikan ampunan kepada orang tersebut. Dalam pandangan ahli jiwa, ampunan terhadap dosa dan kesalahan merupakan obat bagi gangguan kejiwaan, karena salah satu penyebab gangguan kejiwaan adalah merasa bersalah atau berdosa. Orang akan tergoncang jiwanya apabila ia merasa bersalah dan berdosa kepada Tuhan.
Jadi dapat dikatakan bahwa shalat merupakan sarana pengobatan kejiwaan atau mempunyai fungsi kuratif terhadap penyakit dan gangguan kejiwaan.
Dalam melaksanakan shalat sebagai obat atau pengobatan kejiwaan, tentu saja shalat itu dilaksanakan dengan dasar iman dan keyakinan akan kebenaran sifat-sifat Allah, terutama sifat yang sangat diperlukan oleh orang yang sedang mengharap dan mencari tempat mengeluh, mengadu dan mengungkapkan perasaan.
Dalam perawatan dan pengobatan gangguan jiwa, terjadi dialog antara penderita dan konsultan. Penderita mengungkapkan perasaan, keluhan dan permasalahannya kepada konsultan, konsutan mendengarkan, memahami, dan memperhatikan perasaannya serta menerimanya. Dengan cara demikian, penderita merasa lega dan merasa tenang karena seluruh perasaan yang menggelisahkan sudah dapat diungapkan. Dengan pertemuan beberapa kali, penderita mengalami kesembuhan.
Apabila shalat wajib kita tinjau dari kesehatan mental maka akan dapat kita pahami bahwa shalat wajib mempunyai hikmah sebagai pengobat bagi mausia yang terganggu jiwanya, baik itu yang berkenaan dengan ketegangan emosi dengan pengaruhnya sampai pada tahap psikosomatik.
Penyebab terjadinya gangguan dan penyakit jiwa adalah karena tekanan perasaan dan konflik-konflik batin yang tidak terselesaikan yang menyebabkan terganggunya kesehatan jiwanya, misalnya karena banyaknya rintangan-rintangan atau problem-problem dalam rangka mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia baik secara fisik atau psikis.
Ibadah shalat didalamnya terdapat bacaan-bacaan atau gerakan-gerakan shalat. Bacaan-bacaan shalat semuanya merupakan doa dan dzikir yang berisi ucapan-ucapan mulia dan indah yang mengandung pujian dan sanjungan kepada Allah sebagai pencipta dan juga bacaan-bacaan shalat berisi permohonan manusia akan hajatnya dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Permohonan manusia akan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya atau hajatnya dalam kehidupan di dunia dan di akhirat dimohonkan kepada Allah lewat pelaksanaan shalat. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mukminun: 60 dan surat al-Baqarah: 186.
    •  •    
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”(QS. AL-Mu’minun: 60)
                   
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah 186)
Dengan shalat manusia berdoa menyerahkan diri kepadaNya. Hal ini akan membantu dalam meredakan ketegangan emosi manusia, karena seorang mu’min mempunyai keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan do’anya dan memecahkan problem-problemnya, memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan membebaskan diri dari kegelisahan dan kerisauan yang menimpanya.
Menghadap kepada Allah melalui shalat dan beroda kepadaNya dengan harapan dikabulkan akan menimbulkan otosugesti yang akan meredakan ketegangan emosi dan kegoncangan jiwa yang terjadi pada manusia.
Ibadah shalat mengantarkan pada hasil yang dicapai psikoterapi yang berhasil. Sebab perasaan aman, tentram dan lepas dari ketegangan emosi telah terkondisikan pada dirinya, keadaan tersebut membantu membebaskan manusia yang sebelumnya terganggu kesehatan mentalnya yaitu mengalami ketegangan emosi dan sampai tindak lanjunya yaitu psikosomatik menjadi tenang, tentram dan terbebas dari gangguan psikis dan fisiologis.
Ketegangan emosi itu terjadi karena ketidakmampuan manusia untuk menghadapi dan memecahkan konflik-konflik psikisnya. Padahal konfllik psikis menguras banyak tenaga psikis manusia. Sehingga akhirnya sangat mempengaruhi berbagai aspek/ sendi stabilitas manusia, mempengaruhi emosi, kesehatan dan mengakibatkan terhambatnya aktualisasi kemampuan dan potensi manusia.
Ibadah shalat yang dilaksanakan ada yang wajib dan sunnah. Shalat wajib dalam kesehatan mental fungsinya sebagai pondasi yang menjadi dasar dalam proses penyembuhan bagi manusia yang terganggu kesehatan mentalnya. Selain ibadah shalat wajib, ada shalat sunnah. Dan macam shalat sunnah itu antara lain adalah shalat sunnah wudhu, rawatib, tahajjud, hajat, istikhoroh, taubat, duha, dan lain-lain. Dan dalam bacaan shalat sunnah tersebut teradapat didalamnya spesikfikasi permohonan sesuai dengan kebutuhan manusia dan Allah men-sunnahkan manusia untuk melaksanakannya, melaksanakan shalat sunnah tersebut membantu manusia untuk terkabulnya permohonan manusia, yaitu dengan mendapatkan Rahmat, Hidayah, dan InayahNya. Dan pada hakekatnya permohonan manusia itu telah terkandung dan termohonkan pada bacaan shalat wajib.
Dengan pelaksanaan ibadah shalat maka secara berlahan tapi pasti bagi manusia yang terganggu kesehatan mentalnya akan mengalami proses penyembuhan dan tergantikan dengan perasaan tenang, tentram, dan merasa terkabulya doa dan mendapatkan Rahmat, Hidayah, dan InayahNya. Kondisi yang tenang dan tentram kemudian mewarnai kehidupannya. Peumpukkan perasaan yang mengakibatkan ketegangan emosi sampai pada tahap psikosomatik itu hilang berganti dengan kehidupan penuh semangat, sehingga dapat mengaktualisasikan kemampuan dan potensi yang dimilikinya dalam berbagai aspek kehidupan.
b) Shalat sebagai pencegahan terhadap gangguan kejiwaan
Manusia dalam kehidupannya selalu menghadapi berbagai macam problem dan cobaan hidup, hal yang tidak menyenangkan selalu terjadi. Dan dengan melaksanakan shalat lima waktu dengan khusu’ dan dilaksanakan secara terus menerus maka dapat dihindari perasaan yang tidak mengenakkan di hati, karena manusia selalu mengungkapkannya lima kali sehari melalui ibadah shalat dengan keyakinan bahwa pengungkapannya langsung didengar, dipahami dan diperhatikan oleh Allah karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Sedangkan bagi orang yang rajin shalat sunnah, akan merasakan ketenangan dan ketntraman batin yang lebih karena intensitas pengungkapan perasaan dan permohonan manusia dilakukan lebih sering, lebih dari lima kali sehari.
Pada saat seseorang sedang shalat, maka seluruh alam fikiran dan perasaannya terlepas dari semua urusan dunia yang membuat dirinya stress. Sesaat jiwanya tenang, ada kedamaian dalam hatinya. Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar stress yang menganjurkan orang agar memluk agama, menghayati dan mengamalkannya agar memperoleh ketenangan. Dan setiap harinya harus meluangkan waktu untuk menenankan diri, karena dengan ketenangan hati yang diperolehnya setiap hari berarti kekebalan dirinya terhadap berbagai stress atau gangguan kejiwaan dapat ditingkatkan.
Sekarang timbul pertanyaan: “apa hikmah yang terkandung dalam kewajiban shalat pada waktu yang telah ditetapkan tidak boleh didahului, ditunda, atau digabungkan?”
Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat penting agar seorang muslim mau melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak meremehkannya.
Lewat analisis kejiwaan bahwa shalat wajib yang lima waktu itu mempunyai fungsi pengobatan atau fungsi kuratif terhadap gangguan kejiwaan. Maka kita temukan fungsi kejiwaan lainnya bagi shalat wajib yang harus dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan.
Shalat subuh dan maknanya bagi pencegahan terhadap gangguan dan penyakit kejiwaan (fungsi preventive)
Pada waktu subuh batin orang yang bangun tidur itu masih lega, belum menghadapi persoalan, belum ada yang dikeluh kesahkan. Maka dalam memasuki hari itu, setiap orang ingin merasa terjamin ketentraman dan kemanan hidupnya sepanjang hari nanti. Untuk itulah ia perlu memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar ia selamat dan tidak terganggu dalam menjalani tugasnya selama satu hari nanti.
Allah mewajibkan shalat subuh karena dengan shaat itu hubungan batinnya dengan Allah akan diperkuat, ia ingat bahwa Allah maha penyayang, Allah dekat dan senantiasa melindungi. Dengan demikian hati mereka merasa tenram dan aman dalam perjalanan hidupnya hari itu. Dengan rasa aman dan lega itu, daya pikir akan dapat digunakan untuk melaksanakan tugas dengan baik, apakah belajar, bekerja atau mencari pekerjaan. Maka orang yang telah melaksanakan shalat secara baik akan menghadapi tugasnya dengan optimis dan gembira.
Shalat dzuhur dan maknanya bagi pencegahan terhadap gangguan dan penyakit kejiwaan (fungsi preventive)
Setiap muslim yang melakukan shalat dengan perasaan lega dan optimis menghadapi tugas dan pekerjaannya dipagi hari. Kendati pun ia telah memulai pekerjaannya dengan senang hati, namun kadang-kadang terjadi pula hambatan, rintangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Rencana dan pembagian waktu yang telah direncanakan untuk menghadapi pekerjaan sehari itu terganggu.
Menurut perhitungan kejiwaan, bila perasaan tidak tenang dan pikiran penuh dengan berbagai masalah yang tidak terselesaikan, maka daya pikir akan menurun atau bahkan mungkin tidak bekerja. Sedangkan apabila orang tersebut mengalami masalah-masalah yang agak menyakitkan, menggelisahkan dan mencemaskan, maka semua itu tidak dapat hilang hanya dengan istirahat siang selama 1 jam yang diberikan kantor. Hal tersebut harus di atasi dengan pelegaan batin yang dapat dilakukan dengan shalat dzuhur.
Inilah barangkali hikmahya mengapa shalat dzuhur itu wajib dan tidak boleh ditunda sampai terlewat waktunya. Seseorang yang lelah bekerja dan menghadapi berbagai hal yang mengganggu sejak pagi akan merasa agak segar apabila bersuci dan berwudhu. Sedangkan pelaksanaan shalat dzuhur akan memberikan kelegaan dan ketentraman seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Shalat ashar dan maknanya bagi pencegahan terhadap gangguan dan penyakit kejiwaan (fungsi preventive)
Kemampuan jasmani beraktivitas atau bekerja pada waktu siang hari dalam keadaan panas, memang tidak sekuat pagi hari lagi. Kesegaran jasmani menurun, kemampuan berfikir agak berkurang, sebaliknya emosi mudah terangsang.
Oleh karena itu mausia diwajibkan kembali shalat, yaitu shalat asar dan menghadap kembali pada Allah, untuk memohon ampun, berdoa dan mengadukan perasaan yang tidak menyenangkan. Dari sana dapat kita lihat bahwa fungsi sholat asar sebagai pencegah gangguan kejiwaan adalah dengan sholat asar, syaraf-syaraf dan otot-otot yang tegang karena bekerja di waktu siang hari dapat kembali regang dan rileks. Sehingga dengan begitu, kondisi fisik dan psikis manusia tetap terjaga.
Shalat maghrib dan maknanya bagi pencegahan terhadap gangguan dan penyakit kejiwaan (fungsi preventive)
Pada waktu pergantian siang dan malam, yang kadang-kadang mencekam jiwa, terutama bagi mereka yang merasa kurang berhasil mengerjakan tugasnya. Setelah matahari terbenam, azan magrib bekumandang. Rupanya Allah memberi kesempatan bahkan mewajibkan kepada manusia untuk menghadap kepadaNya guna menunaikan kewajiban pemersihan diri dari berbagai masalah yang menyesakkan dada, serta memohon ampun atas kekhilafan dan kesalahan dalam perjalanan hidup seharian tadi, dan selanjutnya bersyukur atas segala keberhasilan yang dicapainya pada hari itu.
Dengan demikian terlepaslah dirinya dari berbagai macam hal yang mengganggu perasaan, dan ini jelas merupakan pencegahan terhadap gangguan kejiwaan.
Shalat isya dan maknanya bagi pencegahan terhadap gangguan dan penyakit kejiwaan (fungsi preventive)
Agar tidur nyenyak, mohonlah perlindungan kepada Allah agar dijaga Nya selama tidur. Buatlah perhitungan terhadap pekerjaan sehari tadi, mulai dari bangun tidur sampai kepada malam menjelang tidur kembali. Inilah tempat kita muhasabah diri dan introspeksi diri. Sehingga jika ada keberhasilan, kita dapat bersyukur, dan apabila banyak hal yang belum tercapai kita mohonkan kepada Allah jalan keluarnya. Hal ini dilakukan agar hati menjadi tenang dan semua anggota tubuh serta pikiran dapat beristirahat secara maksimal.
c) Fungsi ibadah shalat sebagai Pembina kesehatan jiwa.
Sebagai pembina kesehatan jiwa manusia, shalat mempunyai manfaat memperkuat mental dan menambah kesehatan jiwa. Karena pendekatan kepada Allah lebih ditingkatkan dengan kesadaran dan kemauan untuk lebih banyak memperoleh kesempatan untuk menentramkan batin manusia.
Kalau kesehatan jasmani dapat diperbandingkan dengan kesehatan jiwa yaitu dalam makan ada yang disebut empat sehat lima sempurna maka dapat ditujukan shalat wajib merupakan pokok-pokok yang menjamin terciptanya kesehatan jiwa dan shalat sunnah mempunyai pengaruh untuk menambah kuatnya mental manusia.
B. Shalat Sunnah Meningkatkan Kegairahan Hidup
Suatu keadaan jiwa yang mencekam dalam hidup adalah ketika gairah untuk bekerja, belajar atau beraktivitas apapun hilang dalam diri seseorang.
Yang menyebabkan seseorang mengalami hal tersebut adalah penjang angan-angan dan sedikit yang dapat dicapai. Dia merasa kecewa. Dan kekecewaannya itupun dihadapkannya pula kepada Allah dengan cara malas melaksanakan shalat. Oleh sebab itu, untuk mengatasi penyakit mental sepert itu, Allah memerintahkan kita untuk semakin mendekat kepadaNya. Yaitu dengan memperbanyak shalat sunnah.
Adapun pengaruh sholat sunnah terhadap kesehatan mental seseorang adalah:
a. Sholat sunnah rawatib
Shalat sunnah rawatib yang dilakukan sebelum atau sesudah shalat wajib mempunyai manfaat pembinaan yang memperkuat mental, dan menambah kesehatannya, karena pendekatan kepada Allah lebih ditingkatkan dengan kesadaran dan kemauan untuk lebih banyak memperoleh kesempatan untuk menentramkan batin.
b. Shalat tahajjud
Andaikan kita boleh membuat perumpamaan, shalat tahajjud yang diiringi doa dan permohonan kepada Allah bagaikan penderita dan konsultan yang sedang berada didalam ruang konsultasi kejiwaan.
Dengan sholat tahajjud gumpalan masalah yang bertumpuk, petaka benang kusut yang memusingkan kepala sedikit demi sedikit mulai terurai, maka perasaannya mulai lega, pandangan terhadap dunia dan kehidupannya mulai sedikit cerah dan secercah harapan mulai muncul dalam hatinya.
c. Shalat istikharah
Berapa banyak manusia yang kebingungan menghadapi berbagai pilihan dalam hidupnya. Agar pertimbangan itu mantap dan tidak disesali dikemudian hari, maka mohonlah petunjuk kepada Allah.
Shalat istikharah jika ditinjau dari segi kejiwaan, maka dapat dikatakan bahwa ia merupakan terapi bagi gangguan kejiwaan yang disebut konflik jiwa.
Sungguh banyak macam gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh konflik batin yang tidak teratasi, bahkan tidak jarang orang yang terserang berbagai penyakit psikosomatik seperti sesak nafas, sakit lambung dan lain-lain.
Maka shalat sitikharah berfungsi sebagai cara untuk mengatasi konlik jiwa dan menghindakan seseorang dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh konflik jiwa tersebut.
d. Shalat Hajat
Tiap orang mempunyai idaman hati, atau satu cita-cita yang diidamkan. Kita tidak cukup hanya bekerja dan berusaha dengan sungguh untuk mencapai cita-cita tersebut. Tetapi kita perlu memperkuat usaha dengan shalat hajat. Agar mental dan kejiwaan kita pun merasa tenang dan optimis, bahwa apa yang kita inginkan pasti dikabulkan oleh Allah Yang Maha Pengasih.

C. Hikmah Shalat bagi Kesehatan Mental
Kita tahu bahwa shalat memiliki banyak manfaat positif dan kekuatan yang tidak dimiliki ibadah lain dalam hal membuat kondisi kejiwaan seseorang menjadi lebih baik. Hal ini telah dibuktikan secara empiris melalu berbagai penelitian. Sebagai contoh, shalat ternyata dapat membantu mengatasi depresi, terutama bagi orang sakit. Para ilmuan berkesimpulan bahwa ketekunan dalam melaksanakan ibadah shalat dapat mengurangi kekhawatiran dan tinngkat depresi orang-orang yang terjangkit penyakit kanker paaru-paru. Setelah melakukan penelitian terhdapa 165 pasangan suami istri yang mengidap kanker paru-paru, peneliti menemukan suami istri yang rajin shalat dan ibadah yang linnyamemiliki tingkat depresi yang lebih rendahdibanding dengan pasangan yang tidak shalat.
Shalat memiliki pengaruh besar dan efektif dalam menyembuhkan mausia dari duka cita dan gelisah. Sikap berdiri pada waktu shalat di hadapan Allah dalam keadaan khusu’, berserah diri dan pengosongan diri dari kesibukan dan permasalahan hidup dapat menimbulkanperasaan tenang dan damai dalam jiwa manusia serta dapat menghilangkan rasa sedih dan gelisah. Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Hudzaifah, selalu shalat ketika menghadapi kesulitan. Hal ini menjadikan shalat memiliki pengaruh terapi dalam mengatasi stress.
Energy ruhani shalat dapat membantu membangkitkan harapan, menguatkan tekad, meninggikan cita-cita, dan juga melepaskan kemampuan yang luar biasa yang menjadikan seseorang lebih siap menerima ilmu, pengetahuan, himah, serta sanggup melaksanakan tugas-tigas kepahlawanan yang hebat.
Disamping itu, shalat juga memiliki pengaruh penting dalam menyembuhkan perasaan bersalah yang menimbulkan perasaan gelisah dan stress, yang dianggap biang keladi munculnya penyakit jiwa. Hal itu karena shalat dapat menghapus dosa dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran kesalahan serta mebangkitkan harapan meraih ampunan dan ridha Allah swt.
Manfaat lain dari shalat adalah untuk memantapkan jiwa dan keinginan dengan bersandar dan menyerahkan diri dan segala sesuatunya hanya kepada Allah swt bukan kepada yang lainnya.
Sholat juga melatih diri untuk mencintai aturan, mematuhi keteraturan dalam pekerjaan dan kehidupan, karena shalat dikerjakan pada waktu-waktu yang teratur. Dengan mengerjakan sholat seseorang akan belajar bagaimana bersaudara, bersikap, bersabar, santun, tenang dan mebiasakan diri memfungsikan pikiran untuk hal-hal yang bermanfaat. Hal ini dikarenakan seseorang akan focus terhadap makna ayat-ayat Al-Qur’an dan menghayati makna shalat dalam shalat.
Shalat merupakan sumber cahaya yang melahirkan aktivitas. Dengan shalat, seseorang berusaha untuk menambah aktivitasnya yang terbatas, karena semua kekuatan menjadi tidak berarti dibandingkan dengan kekuatan yang dihasilkan dari shalat. Tidak ada seorang pun yang memohon pertologan kepada Allah Swt dengan khusu’ kecuali kekhusu’-an itu akan membuahkan hasil yang lebih baik utuk dirinya.



DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 1996. Shalat Menjadikan Hidup Lebih Bermakna. Jakarta: Ruhama.
Hawari, Dadang. 1996. Al-Qur’an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jogjakarta: Dana Bhakti Prima Yasa
Hidayati, Henny Narendrani dan Andri Y. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: Uin Press.
Jaya,Yahya. 1994. Spiritualisasi Islam. Jakarta: Ruhama.
Musbikin, Imam. 2008. Melogikakan Rukun Islam. Jogjakarta: Diva Press.
[ Read More ]

BAB II
AMTSALUL QUR’AN
Di antara para ulama ada sejumlah orang yang menulis sebuah kitab yang secara khusus membahas perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur'an, dan ada pula yang membuat satu bab mengenainya dalam salah satu kitab-kitabnya. Kelompok pertama misalnya, Abul Hasan alMawardi. Sedang kelompok kedua adalah as-Sayuti dalam alitqon dan Ibnul Qayyim dalam A’lamul-Muwaqqi’in.
Bila kita mneliti amsal dalam al-Qur'an yang mengandung penyerupaan (tasybih) sesuatu dengan hal serupa lainnya dan penyamaan antara keduanya dalam hukum, maka amsal demikian mencapai jumlah lebih dari empat puluh buah.
Allah mengemukakan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa ia membuat sejumlah amsal.
                ••   
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu dibuatnya untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-hasyr (59):21)
   ••      
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-ankabut :43)
  ••         
“Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia di dalam al-Qur'an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran.”(az-Zumar:27).
Dari Ali diriwayatkan, Rasulullah Saw berkata:
“sesungguhnya Allah menurunkan al-Qur'an sebagai perintah dan larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpamaan yang dibuat.”
A. Definisi Amtsalul Qur’an
Dilihat dari segi bahasa, kata amtsal merupakan bentuk jamak dari matsal, mitsl dan matsil yang berarti sama dengan syabah, syibh, dan syabih, (semakna).
Matsal dimaknakan dengan keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat, yaitu :
1. Menurut ulama ahli 'Adab, amtsal adalah upacara yang banyak menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan sesuatu yang dituju.
2. Menurut ulama ahli Bayan, amtsal adalah ungkapan majaz yang disamakan dengan asalnya karena adanya persamaan yang dalam ilmu-ilmu balaghoh disebut tasyabih.
3. Menurut ulama ahli tafsir adalah menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik yang mengena dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz mursal.
Sedangkan menurut ulama ulumul qur’an, dari segi istilah kata matsal/amtsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mandalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Ibnu Qayyim, mendefinisikan amsal Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatka sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, mahsus).
B. Rukun Amtsal (Tasybih)
Rukun amtsal ada empat, yaitu:
Sebagian ulama mengatakan, bahwa amtsal memiliki empat rukun, yaitu:
1) Wajhu Syabah/ segi perumpamaan
2) Adaatu Tasybih/ alat yang dipergunakan untuk tasybih.
3) Mussyabbah/ yang diserumpamakan.
4) Musyabbah Bih/ sesuatu yang dijadikan perumpamaannya.
Sebagai contoh, firman Allah SWT (QS. 2: 261)
•                          
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Wajhu Syabah yang terdapat pada ayat ini adalah pertumbuhan yang berlipat-lipat. Tasybihnya adalah kata matsal. Musyabahnya adalah infaq atau shodaqoh dijalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.
C. Macam-Macam Amtsal Dalam al Qur’an
1) Al-Amtsal Al-Musharrahah
Yaitu matsal yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Hal seperti ini banyak dalam al Qur’an. Contohnya adalah:
firman Allah mengenai orang-orang munafik:
                                                      •                    
Artinya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat Melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar), Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Karena (mendengar suara) petir,sebab takut akan mati dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
2) Al-Amtsal Al-Kaminah
Yaitu matsal yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamtsil (permisalan), tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengarih tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Misalnya firman Allah mengenaisapi betina:
            •             
Artinya: Mereka menjawab: " mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".(QS. Al-Baqarah: 68)
Firman-Nya tentang nafkah:
           
Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.(QS. Al-Furqan: 67)
3) Al-Amtsal Al-Mursalah
Yaitu kalimat-kalimat bebas yang tdak menggunakan lafaz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat tersebut berlaku sebagai tasybih. Contohnya seperti firman Allah :
    •      •                     
Raja Berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" mereka berkata: "Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya". Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar." (QS. Yusuf: 51)
                          •       
Artinya: Para utusan (malaikat) berkata: "Hai Luth, Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka Karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?". (QS. Hud: 81)
Tetapi khusus mengenai amtsal mursalah, para ulama berbeda pendapat dalam menganggapinya.
1. Sebagian ulama menganggap amtsal mursalah telah keluar dari etika al-Qur'an. Menurut Ar-Razi ada sebagaian orang-orang menjadikan ayat lakum dinukum wa liyadin sebagai perumpamaan ketika mereka lalai dan tak mau menaati perintah Allah. Ar-Razi lebih lanjut mengatakan bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan sebab Allah tidak menurunkan ayat ini untuk dijadikan perumpamaan, tetapi untuk diteliti, direnungkan dan kemudian diamalkan.
2. Sebagian ulama lain beranggapan bahwa mempergunakan amtsal mursalah itu boleh saja karena amtsal, termasuk amtsal mursalah lebih berkesan dan dapat mempengaruhi jiwa manusia. Seseorang boleh saja menggunakan amtsal dalam suasana tertentu.
D. Hikmah Amtsalul Qur’an
 Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan akal menjadi bentuk kongkrit yang dapat dirasakan atau difahami oleh indra manusia.
 Menyingkapkan hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi seakan-akan nampak.
 Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat.
Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh seperti apa yang digambarkan dalam mastal, jika yang dicontohkan adalah amalan yang baik.
 Menampilkan sesuatu yang abstrak (yang hanya ada dalam pikiran) ke dalam sesuatu yang konkret-material yang dapat di indera manusia.
 Menyingkap makna yang sebenarnya dan memperlihatkan hal yang gaib melalui paparan yang nyata.
 Menghimpun arti yang indah dalam ungkapan yang singkat sebagaimana terlihat dalam amtsal kaminah dan amtsal mursalah.
 Membuat si pelaku amtsal menjadi senang dan bersemangat.
 Menjauhkan seseorang dari sesuatu yang tidak disenangi.
 Memberikan pujian kepada pelaku.
 Mendorong giat beramal, melakukan hal-hal yang menarik dalam al-Qur'an.
 Pesan yang disampaikan melalui amtsal lebih mengena di hati lebih mantap dalam menyampaikan nasehat dan lebih kuat pengaruhnya.
 Menghindarikan dari perbuatan tercela.Allah banyak menyebut amtsal dalam al-Qur'an untuk pengajaran dan peringatan.
 Allah SWT berfirman dalam QS. Az-Zumar : 27:
   ••      
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu”.
E. Membuat Masal dengan al-Qur’an.
Telah menjadi tradisi para sastrawan, ditempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuatu dengan isi amsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat al-Qur’an sebagai masal, mereka tidak perlu bahwa orang membacakan sesuatu ayat amsal dalam kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi, hal ini demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa-jiwa orang mukmin.
Abu ‘Ubaid berkata, “demikianlah, seorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya secara humor, ‘kamu datang menurut waktu yang telah ditetapkan wahai Musa’ (Ta Ha; 40), perbuatan demikian merupakan penghinaan terhadap al-Qur’an”.
Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “janganlah kamu menyerupakan (sesuatu) dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah”. Maksudnya ialah kata Abu Ubaid, janganlah kamu menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik berupa ucapan maupun perbuatan.




BAB III
KESIMPULAN
Seperti yang telah diuraikan di bab sebelumnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang perumpamaan atau yang dalam ulumul Qur’an disebut dengan Amsal al-Qur’an. terdapat perbedaan pendapat mengenai hal tersebut mulai dari ulama ahli adab, ahli bayan dan ahli tafsir serta ulama ulumul Qur’an, namun yang menurut penulis lebih cocok dengan pengertian tersebut adalah menurut ulama ulumul Qur’an, yaitu bahwa amsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mandalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Amsal juga mempunyai rukun-rukun atau unsure-unsur, antara lain Wajhu Syabah/ segi perumpamaan, Adaatu Tasybih/ alat yang dipergunakan untuk tasybih, Mussyabbah/ yang diserumpamakan, dan Musyabbah Bih/ sesuatu yang dijadikan perumpamaannya. Adapun macam-macam amsal terdiri dari tiga bagian yaitu, amsal musarrahah, amsal kaaminah, dan amsal mursalah yang masing-masing mempunyai perbedaan diri sendiri.
Adapun membuat masal ataupun perumpamaan al-Qur’an dengan digunakan dengan percakapan sehari-hari itu tidak diperbolehkan, karena tujuan al-Qur’an turun bukan hanya untuk masalah amsal, melainkan al-Qur’an untuk direnunsi dan difikirkan secara mendalam serta diamalkan dalam kehidupan keseharian umat Islam.

Wallahu a’lam bish-shawwab.



DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuti. Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an.
Hasbi Ash-SHidieqy, TM. Ilmu-ilmu al-qur’an. Jakarta: Midas Surya Grafindo. 1972
http://luthfi-damanhuri.blogspot.com/2009/05/amsal-aqsam-jadal-dalam-al-quran.html, diakses tanggal 17 oktober 2009.
Khalil al-Qattan, Mana’. studi ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: litera antar Nusa. 2007
Maulana, Rizka. Amtsal al-Qur’an (dalam bentuk pdf).
[ Read More ]

PENDAHULUAN
Sekiranya suatu sanad hadits yang diteliti telah memberikan petunjuk yang meyakinkan bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad itu siqoh dan sanadnya benar-benar bersambung, maka tidak ada alasan menolak bahwa kualitas sanad hadis tersebut sahih. Namun pada kenyataannya ada sanad hadis yang tampak berkualitas sahih dan setelah diteliti kembali dengan lebih cermat, misalnya dengan membanding-bandingkan semua sanad untuk matan yang semakna, hasil penelitian akhir menunjukkan bahwa sanad hadis yang bersangkutan mengandung kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat). Hal itu terjadi sesungguhnya bukan karena terdapat kelemahan pada diri kaidah kesahihan sanad yang dijadikan sebagai acuan, melainkan karena telah terjadi kesalahan langkah metodologis dalam penelitian. Mungkin saja lambing ‘an atau anna, atau qola tidak diteliti secara cermat dan setelah diteliti kembali secara lebih cermat, ternyata dibalik lambing-lambang itu terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan penelitian sanad masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syaz dan ‘illah belum dilaksanakan dengan cermat. Penelitian terhadap kedua hal tersebut memang termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap keadaan paramelainkan karena telah terjadi kesalahan langkah metodologis dalam penelitian. Mungkin saja lambing ‘an atau anna, atau qola tidak diteliti secara cermat dan setelah diteliti kembali secara lebih cermat, ternyata dibalik lambing-lambang itu terdapat tadlis (penyembunyian cacat).
Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa kegiatan penelitian sanad masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syaz dan ‘illah belum dilaksanakan dengan cermat. Penelitian terhadap kedua hal tersebut memang termasuk lebih sulit bila dibandingkan dengan penelitian terhadap keadaan para periwayat dan persambungan sanad secara umum.
Adapun hadis yang didalmnya terdapat syuzuz disebut hadis syaz dan hadis yang didalamnya terdapat ‘illah disebut hadis mu’allal.


MENGENAL DAN MEMAHAMI SYADZ DAN MU’ALLAL
A. Mengenal dan Memahami Syadz
a. Pengertian Syadz
Dalam bukunya Ulumul Hadist, Abdul Majid Khon menyebutkan bahwa dari segi bahasa syadz berasal dari kata diartikan ganjil tidak sama dengan mayoritas.
Sedangkan menurut Prof. Dr. TM. Hasybi Ash-siddiqy dalam bukunya Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis Jilid I Syadz pada lughot berarti: orang yang terasing, tersendiri dari jama’ah ramai.
Dari segi istilah ada beberapa pendapat, yaitu sebagi berikut:

periwayatan orang tsiqoh menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqoh

periwayatan seorang tsiqoh sendirian dari orang-ornag yang tsiqoh lain.

Periwayatan seorang perawi secara sendirian baik ia tsiqoh atau tidak, baik ia menyalahi periwayatan yang lain atau tidak.
Sedangkan ta’rief hadits syadz menurut lughat dalam buku Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, adalah: orang yang terasing, tersendiri dari jama’ah ramai.
Pada ‘uruf ahli fikih, ialah:”Pendapat yang hanya dikatakan oleh seorang saja, sedang orang ramai menyalahi pendpatnya itu.”
Pada ‘uruf ahli hadis, ialah:

“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang kepercayaan (orang tsiqoh) yang riwayatnya berlawanan dengan riwyat orang banyak yang kepercayaan pula, baik dengan menambah, atau dengan mengurangi.”
Al-Hakim berkata:

“hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang kepercayaan, padahal tiada mempunyai sesuatu mutabi’. (yakni tiada mempunyai sesuatu jalan yang lain yang menguatkan riwayat itu).”
Dan syadz itu berbeda dengan mu’allal. Mu’allal diketahui ‘illatnya yang menunjukkan kepada telah terjadi waham padanya, sedangkan syadz tidak diketahui ‘illatnya, tetapi orang yang menelitikan hadis itu terasa bahwa pada hadis itu ada sesuatu kesalahan.
Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa:” hadis syadz ini lebih sukar diketahui dari hadis mu’allal. Karena itu tidak dapat diketahuinya, melainkan oleh orang-orang yang sungguh-sungguh ilmunya dalam bidang hadis.
Asy-Syafi’I berkata:



“Bukanlah hadits syadz itu yang hanya diriwayatkan oleh seorang kepercayaan (orang tsiqoh) yang tidak diriwayatkan oleh selainnya. Syadz itu, ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan (tsoqoh), yang berlawanan dengan riwayat orang ramai yang kepercayaan.”
Perkataan ini memberi pengertian bahwa syadz itu ialah yang menyalahai perawi yang rajah dari padanya, walaupun hanya seorang.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits syadz adalah hadis yang ganjil karena hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau periwayatnya yang menyalahi periwayatan orang tsiqoh atau yang lebih tsiqoh dan yang terakhir ini pendapat yang shahih. Jika periwayatan ornag dha’if menyalahi periwayatan orang tsiqoh disebut munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqoh menyalahi orang tsiqoh disebut hadits mahfidz.
Dalam buku Metodologi Penelitian Hadis Nabi karya Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail dikatakan bahwa pendapat imam syafi’i merupakan pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis sampai saat ini. Berdasarkan pendapat imam syafi’i tersebut maka dapat ditegaskan bahwa kemungkinan suatu sanad mengandung syadz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadis yang memiliki satu sanad saja, tidak dikenal adanya kemungkinan mengandung syadz. Salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syaz pada suatu sanad hadis adalah dengan membadingkan sanad-sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau meiliki segi kesamaan.
Lawan untuk hadis syaz (hadis yang mengandung syuzuz) adalah hadiz mahfudz.
Dalam buku ushulul hadis karya M. ajaj al-Khatib dikatakan bahwa oleh karena criteria Syaz adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan mukholafah (penyimpangan), maka apabila ada seorang perawi yang berkualitas siqoh melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadis tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka hadisnya shahih, bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena criteria terjih lainnya, maka yang rajah disebut hadis mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.

b. Contoh Hadits Syadz
Sebagaimana hadis dha’if, syadz dapat terjadi pada sanad dan bisa terjadi pada matan. Contoh syadz pada sanad.
Hadis yang diriwayatkan at-Tirmidzi, an-Nasa’I, dan Ibnu majah melalui jalur Ibnu Unaynah dari Amr bin Dinar dari Aisyah dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki wafat pada masa Rasulullah saw. Dan tidak meninggalkan pewaris kecuali budak yang ia merdekakannya. Nabi bertanya: “apakah ada seorang yang menjadi pewarisnya?” Mereka menjawab, “Tidak, kecuali seorang budak yang telah dimerdekakannya, kamudian Nabi menjadikannya sebagai pewaris baginya.”
Hammad bin Zaid (seorang tsiqoh, adil dan dhabit) juga meriwayatkan hadis di atas dari Amr bin Dinnar dari Ausajah, tetapi tidak menyebutkan Ibnu Abbas. Maka periwayatan Hammad bin Zaid syadz, sedang periwayatan ibnu Unaynah Mahfudz.
Contoh syadz pada matan, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy adri Abu Shalih dari Abu Hurairoh secara marfu’ (Rasulullah saw. Bersabda):

Jika telah shalat dua rakaat fajar salah seorang diantara kamu hendaklah tiduran pada lambung kanan.
Al-Baihaqi berkata: periwayatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah Syadz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan nabi bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri diantata perawi tsiqoh.
B. Mengenal dan Memahami Mu’allal
a. Pengertian hadits mu’allal
Dalam bahasa mu’allal berasal dari akar kata ‘illah ( ) yang diartikan al-maradh artinya penyakit. Seolah-olah hadits ini terdapat penyakit yang membuat tidak sehat dan tidak kuat. Bagi kesehatan, penyakit ini merupakan cacat dan penghalang bagi kesehatan seseorang. Seseorang menjadi lemah kesehatannya ketika terserang suatu penyakit. Dalam istilah, ‘illah atau mu’allal adalah:


Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pada hadits kemudian membuat cacat dalam keabsahannya padahal lahirnya selamat dari padanya.
Hadits muallal adalah:

Hadits yang dilihat didalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat keshahihan hadits, padahal lahirnya selamat daripadanya.
Dari definisi diatas dapat difahami bahwa kriteria ‘illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadits. Jika cacat itu tidak tersembunyi dan tidak mengurangi keabsahan suatu hadis tidak disebut ‘illah. Namun bagi selain muhadditsiin, ‘illah terkadang diartikan cacat secara umum dalam hadits baik tersembunyi dan mencacatkan keabsahan suatu hadis atau tidak seperti sifat dusta, banyak kelupaan, dan lain-lain. Contoh ‘illah hadis, adakalanya seorang perawi meng-irsal-kan hadis yang marfu’/ maushul, me-mawqufkan suatu hadis yang marfu’ atau menyisipkan suatu matan hadis pada matan lain menjadi satu hadis.
Hadis mu’allal disebut juga dengan hadis ma’lul atau mu’all.
Illat hadis adakala dengan mengirsalkan yang mausul, yakni suatu hadis yang sebenarnya mausul _bersambung sanadnya kepada Nabi saw_tetapi diriwayatkan dengan sanad yang mursal.
Atau hadis yang yang marfu’ diriwayatkan dengan sanad yang mauquf.
Sedangkan menurut M. Ajaj Al-Khatib bahwa hadis mu’allal adalah hadis yang tersingkap di dalamnya ‘illah qidihah, meski lahiriahnya terbebas darinya. ‘illatnya terkadang ada pada sanad, kadang pada matan, atau pada kedudanya. Umumnya ‘illat pada sanad seperti halnya irsal, al-waqt, inqita’ dan sejenisnya. Semua itu mempengaruhi kemuttasilan sanad dan menjadikan hadis tergolong dha’if.
b. terjadinya ‘illah
‘Illah bisa terjadi pada:
1) sanad saja dan ini yang lebih banyak, seperti me-mawqufkan suatu hadis yang semestinya mursal atau sebaliknya.
2) Pada matan, seperti hadis tentang membaca basmalah dalam surat Al-Fatihah secara jahar (keras) dalam shalat jahar (shalat wajib malam hari) menurut beberapa ‘ulama, diantaranya Syafi’I, ad-Daruquthni, Abdul Barr, al-Baihaqi, dan as-suyuti.
3) pada sanad dan matan sekaligus sehingga pengaruhnya jelas pada sanad dan matan sekaligus.
c. contoh hadis mu’allal
hadis yang diriwayatkan oleh at-tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdussalam bin Harb al-Mala’I dari al-a’masy dari Anas berkata:

adalah Nabi saw ketika hendak hajat tidak mengangkat kakinya sehingga dekat dengan tanah.
Hadis di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanadnya adalah orang yang tsiqoh, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan, bahwa al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat di belakang maqam Ibrahim.
Mengetahui ‘illah hadis termasuk ilmu hadis yang sangat tinggi, karena tidak semua orang mampu menyingkap cacat yang tersembunyi dan tidak mudah mengetahuinya kecuali para ahli hadis yang memiliki ketajaman dan kejernihan dalam berfikir. Diantara mereka Ibnu Al-Madini, Ahmad, Al-Bukhari, Abi Hatim dan Daruquthni. Namun secara umum dapat diketahui dengan cara menghimpun beberapa sanad, kemudian dianalisis perbedaan para perawi dalam meriwayatkan, tingkat hapalan, dan kedhabitan.
Contoh hadis yang mu’allal pada sanad:
Hadis yang diriwayatkan oleh ya’la Ibnu Ubaid At-Thanafisi, seorang yang tsiqoh, dari sufyan ats Tsauri dari ‘Amer Ibn Dinar, dari Ibnu Umar dari Nabi saw sabdanya:

“Penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”
Hadis ini, menurut sanad diatas muttasil, diriwayatkan oleh ornag yang adil, dari orang yang adil pula. Padahal sanad ini sebenarnya ma’lul _walaupun matannya sahih_ karena Ya’la bin ‘Ubaid telah bersalah pada perkataannya :Amer bin Dinar. Yang sebenarnya Abdullah bin Dina. Beginilah riwayat segala ahli hadis yang lain dari Ya’la bin ‘Ubaid itu. Dengan demikian jadilah riwayat Ya’la ma’lul sanadnya, sahih matannya, lantaran dikuatkan oleh sanad y ang lain.
Contoh mu’allal pada matan hadis:
Riwayat IbrahimThuman dari Hisyam ibn Hisan dari Muhammad ibn Sirin dari Abu Huroiroh dan Suhail ibn Abi Shaleh dari ayahnya dari Abu Huroiroh, katanya: Rasulullah saw bersabda:




Bila salah seorang diantara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah ia membasuh dua telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkan keduanya kedalam wadah. Karena ia tidak tahu kemana saja tangannya semalam. Kemudian ciduklah air dengan tangan kanannya dari wadah itu, lalu siramkannlah ke tangan kirinya dan lalu basuhlah pantatnya.
Abu Hatim ar-Raziy mengatakan, selayaknya kalimat “kemudian ciduklah…”merupakan pernyataan Ibrahim Ibn Thuhman, yang menyambungkan pernyataannya itu dengan hadis sehingga pendengar tidak bisa membedakan.Lihat ‘ilalulhadis karya Ibnu Hatim hal 65, juz 1. pernyataan perawi yang ditemukan atau disambungkan dengan hadis disebut “idraj”. Namun bila perawi menandai pernyataannya dan menjelaskan bahwa pernyataannya itu merupakan penegasan dari hadis maka kita tidak menilainya sebagai ‘illah qadihah (‘illah yang mencacatkan hadis). Adapun bila ia ditanya apakah semuanya merupakan hadis lalu ia menjawab “ya” maka kita bisa mentolerirnya. Karena yang terjaga hanya yang bagian petama saja sehingga ‘illah itu mencacatkan hadis.
Contoh hadis yang mu’allal pada sanad dan matan:
Hadis riwayat Baqiyyah dari Yunus dari Azzuhri dari salim dari Ibnu Umar dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda:

“Orang yang menemukan satu roka’at salat jum’at dan yang lain, maka ia telah menemukan pahala jama’ah”
Abu Hatim ar-Razi mengatakan ini merupakan kesalahan sanad dan matansekaligus. Yang benar adalah az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu hurairah dari Nabi saw beliau bersabda:

“Orang yang menemukan satu roka’at di suatu sholat, maka ia telah menemukannya.”
Adapun pernyataan “Min Shalat Al-Jum’ah” tidak termasuk ke dalam hadis. Sehingga terdapat kesalahan dalam sanad dan maan sekaligus.
d. Kitab-kitab hadis mu’allal
Diantara kitab yangmenjelaskan hadis mu’allal adalah sebagai berikut:
a. kitab al-‘ilal, karya Ibnu al-Madini
b. ‘ilal al-hadits, karya Ibnu Abu Hatim
c. Al-‘Ilal wa Ma’rifah ar-Rijal, karya Ahmad bin Hanbal.
d. Al-‘ilal Ash-Shagir wa al-‘Ilal Al-Kabir, karya At-Tirmidzi
e. Al-‘Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits An-Nabawiyah, karya Ad-Daruquthi.
C. HUKUM HADIS SYADZ DAN MU’ALLAL
Menurut M. “ajaj Al-Khatib, bahwa kedu hadis tersebut tergolong pada hadis dho’if. Maka hukum kedua hadis tersebut sama dengan hukum hadis dho’if.
Ada tiga pendapat dikalangan Ulama dalam penggunaan hadis dho’if.
a. hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadho’il maupun ahkam. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh ibnu al-arabiy. Tampaknya ini juga merupakan pendapat imam Bukhora dan imam muslim, berdasarkan kriteria-kriteria yang kita fahami dari keduanya, ini merupak pendapat ibnu Hazm pula.
b. Hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Pendpaat ini dinisbatkan kepada Abu daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat hadis dho’if lebih kuat dari pada ra’yu perseorangan.
c. Hadis dha’if dapat digunakan dalam masalah fadho’il, mawa’idz atau yang sejenis bila memebuhi syarat. Ibnu hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut:
- kedha’ifannya tidak terlalu
- hadis dha’if itu masuk cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan
- ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar berhati-hati.
Pendapat Penulis buku …… mengenai masalah ini:
Tak syak lagi bahwa pendapat pertamalah yang paling selamat. Kita memiliki hadis-hadis shahih tentang fadho’il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi saw yang sangat padat dalam jumlah besar. Hal ini cukup menjadikan kita tidak perlu meriwayatkan hadis dha’if mengenai masalah fada’il ataupuan sejenisnya. Lebih-lebih fadha’il dan makarimul akhlak termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal itu dengan ahkam ditinjau dari segi kekuatan sumbernya, yakni shahih maupuan hasan. Sehingga wajiblah sumbernya adalah khabar-khabar yang bisa diterima.






KESIMPULAN
 Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits syadz adalah hadis yang ganjil karena hanya dia sendiri yang meriwayatkannya atau periwayatnya yang menyalahi periwayatan orang tsiqoh atau yang lebih tsiqoh dan yang terakhir ini pendapat yang shahih. Jika periwayatan ornag dha’if menyalahi periwayatan orang tsiqoh disebut munkar dan jika periwayatan orang yang lebih tsiqoh menyalahi orang tsiqoh disebut hadits mahfidz.
 hadis mu’allal adalah hadis yang tersingkap di dalamnya ‘illah qidihah, meski lahiriahnya terbebas darinya. ‘illatnya terkadang ada pada sanad, kadang pada matan, atau pada kedudanya. Umumnya ‘illat pada sanad seperti halnya irsal, al-waqt, inqita’ dan sejenisnya. Semua itu mempengaruhi kemuttasilan sanad dan menjadikan hadis tergolong dha’if.
 Hukum menggunakan kedua hadis tersebut di atas adalah tidak dapat diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadho’il maupun ahkam. Karena kita memiliki hadis-hadis shahih tentang fadho’il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi saw yang sangat padat dalam jumlah besar. Hal ini cukup menjadikan kita tidak perlu meriwayatkan hadis dha’if mengenai masalah fada’il ataupuan sejenisnya. Lebih-lebih fadha’il dan makarimul akhlak termasuk pilar agama. Sehingga tidak ada perbedaan antara hal-hal itu dengan ahkam ditinjau dari segi kekuatan sumbernya, yakni shahih maupuan hasan. Sehingga wajiblah sumbernya adalah khabar-khabar yang bisa diterima.






DAFTAR PUSTAKA
As-Siddiqy, T.M. Hasbi. 1958. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis I. Jakarta:Bulan Bintang.
Ismail, M. Syuhudi. 2007. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2009.Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
[ Read More ]

TANDA-TANDA ORANG MUNAFIK
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم قالَ: أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا
خَالِصًا، وِمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَة ٌمِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ،
وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجََرَ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Dari Abdullah ibn ‘Amr bahwa Nabi Saw bersabda: “Empat sifat yang barang siapa mengerjakannya, maka ia menjadi munafik tulen, dan barang siapa yang melakukan salah satu dari empat sifat itu, maka di dalam dirinya terdapat sifat nifak sehingga ia meninggalkannya, yaitu: (1) apabila dipercaya, ia berkhianat, (2) apabila berbicara, ia dusta, (3) apabila berjanji, ia tidak menepati, dan (4) apabila bertengkar, ia curang (mau menang sendiri) (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kosakata:
مُنافقا خاص : Munafik tulen/ munafik sempurna
خَصْلَة: Sifat, perkara
نِفاق : Hipokrit, munafik
وَدَع – يَدَع : meninggalkan
أُؤْتُمِن : dipercaya
َحدّث : Berbicara, berkata
وَعَدَ : berjanji
عاهََد : mengingkari
خاصَم : bertengkar
فَجَرَ : curang (mau menang sendiri)
كَذَب : berdusta/ berbohong
خان : berkhianat
Dalam riwayat lain, hadist tersebut berbunyi:
عن ابي هريرة ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : اية المنافق ثلاث اذاحدث كذب واذا وعد اخلف واذ تئمن خان
Artinya: Dari Abu RA. Bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: Tanda orang munafik ada tiga: apabila berkata dusta; apabila berjanji ingkar; apabila diberi amanat khianat.
Diriwayatkan oleh: Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, Turmudzi, An-Nasai, semuanya dari Abu Hurairoh.
Asbabul wurud hadist:
Al-Khatibi menjelaskan bahwa hadist ini ditujukan Rasulullah saw, kepada orang munafik, namun Rasulullah saw tidak menjelaskan kepada para sahabat nama orang yang dimaksud, disebutnya : “si fulan munafik”. Hal ini menunjukkan keluhuran budi beliau.
Keterangan:
Dalam riwayat Abu Awanah berbunyi (artinya): “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika ia berkata berlainan dengan kejadian yang sesungguhnya, jika ia berjanji untuk kebaikan ia tidak akan memenuhinya, jika ia diberi kepercayaan mengenai harta, rahasia atau titipan ia kerjakan hal-hal bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan ia berkhianat kepadaNya.
Ketiga tanda tersebut di khusus kan Rasulullah karena ketiganya meliputi perkataan, perbuatan dan niat yang saling bertentangan.
Syarah dan Analisis
1. Definisi Nifaq
Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa merupakan jenis penipuan, makar, menampakkan kebaikan dan memendam kebalikannya.
Nifaq terbagi menjadi dua:
Pertama, Nifaq Akbar (Kemunafikan Besar); yaitu upaya seseorang menampakkan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau sebagiannya. Inilah bentuk nifaq (kemunafikan) yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan yang dicela dan dikafirkan para pelakunya oleh al-Qur’an. Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya kelak akan menempati neraka paling bawah.
Kedua, Nifaq Ashghar (Kemunafikan Kecil); yaitu kemunafikan dalam perbuatan. Gambarannya, seseorang menampakkan secara terang-terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang berlawanan dengan itu.
2. Pokok-Pokok Nifaq
Pokok-pokoknya kembali kepada beberapa sifat yang disebutkan dalam hadits-hadits (yang disebutkan Ibn Rajab dalam syarah Arba’in, termasuk hadits yang kita kaji ini), di antaranya:
1. Seseorang berbicara mengenai sesuatu yang dibenarkan orang lain padahal ia berdusta. Nabi SAW bersabda dalam kitab al-Musnad karya Imam Ahmad, “Amat besar pengkhianatanya manakala kamu berbicara kepada saudaramu dengan suatu pembicaraan di mana ia membenarkanmu namun kamu berdusta kepadanya.”
2. Bila berjanji, ia mengingkari. Ini terbagi kepada dua jenis: Pertama, seseorang berjanji padahal di dalam niatannya tidak ingin menepatinya. Ini merupakan pekerti paling buruk.
Kedua, Berjanji pada dirinya untuk menepati janji, kemudian timbul sesuatu, lalu mengingkarinya tanpa alasan. Dalam hadits yang dikeluarkan Abu Daud dan at-Turmudzi dari hadits Zaid bin Arqam, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Bila seorang laki-laki berjanji dan berniat menepatinya namun tidak dapat menepatinya, maka tidak apa-apa baginya (ia tidak berdosa).”
3. Bila berseteru, ia berbuat fajir. Makna fujur adalah keluar dari kebenaran secara sengaja sehingga kebenaran ini menjadi kebatilan dan kebatilan menjadi kebenaran. Dan inilah yang menyebabkannya melakukan dusta sebagaimana sabda Nabi SAW, “Berhati-hatilah terhadap kedustaan, sebab kedustaan dapat menggiring kepada ke-fujur-an dan ke-fujur-an menggiring kepada neraka.” Di dalam kitab ash-Shahihain dari nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya laki-laki yang paling dibenci Allah adalah yang paling suka berseteru dalam kebatilan.” Dan di dalam sunan Abi Daud, dari Ibnu ‘Umar, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang berseteru dalam kebatilan padahal ia mengetahuinya, maka senantiasalah ia dalam kemurkaan Allah hingga menghadapi sakaratul maut.” Di dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang membantu dalam perseteruan secara zhalim, maka ia akan mendapatkan kemurkaan dari Allah.”
4. Bila berjanji, ia mengkhianati (mengingkari) dan tidak menepatinya. Padahal Allah SWT menyuruh agar menepati janji seraya berfirman, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS.al-Isra’/17:34) Dan firman-Nya, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS.an-Nahl/16:91)
Di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibn ‘Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Setiap pengkhianat akan memiliki panji pengenal pada hari kiamat, lalu dikatakan; inilah pengkhianatan si fulan.”
Mengkhianati setiap perjanjian yang terjadi antara seorang Muslim dan orang lain haram hukumnya sekali pun orang yang diajak berjanji itu adalah seorang kafir.
Oleh karena itu, di dalam riwayat al-Bukhari, dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Siapa yang membunuh jiwa yang diberi perjanjian tanpa hak, maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya baunya terasa dari jarak perjalanan 40 tahun.”
Tentunya, perjanjian yang terjadi di antara sesama Muslim, harus lebih ditepati lagi dan membatalkannya merupakan dosa besar. Bentuk dosa paling besar dalam hal ini adalah membatalkan perjanjian dengan imam (pemimpin negara Islam) yang dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti dan sudah rela terhadapnya.
Di dalam kitab ash-Shahihain, dari hadits Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “Tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak Dia bersihkan diri mereka dan mereka malah akan mendapat azab yang pedih…” Di dalam hadits ini, beliau SAW menyebutkan salah satu dari mereka, yaitu seorang laki-laki yang telah membai’at seorang imam, tetapi ia membai’atnya hanya karena dunia; jika ia (sang imam) memberinya sesuai dengan apa yang diinginkannya, maka ia menepatinya dan bila tidak, maka ia tidak pernah menepatinya.”
Termasuk dalam janji yang wajib ditepati dan haram dikhianati adalah seluruh akad seperti jual beli, pernikahan dan akad-akad lazim yang wajib ditepati, yang terjadi di antara sesama Muslim bila mereka saling rela atasnya. Demikian pula, sesuatu yang wajib ditepati karena Allah SWT dari perjanjian hamba dengan Rabbnya seperti nadzar berbuat kebajikan dan semisalnya.
5. Bila diberi amanah, ia berkhianat. Bila seseorang diberi amanah, maka ia wajib mengembalikannya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…” (QS.an-Nisa’/4:58)
At-Turmudzi dan Abu Daud mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang beramanah kepadamu dan janganlan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu.”
Khianat terhadap amanah merupakan salah satu sifat munafik sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shaleh.[75] Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).[76]Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.[77]” (QS.at-Taubah/9:75-77)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung…..” (QS.al-Ahzab/33:72)
Pokoknya, semua Nifaq Ashghar terpulang kepada adanya perbedaan antara perkara tersembunyi (bathiniah) dan terang-terangan (lahiriah). Al-Hasan al-Bashori RAH berkata, “Sekelompok Salaf berkata, ‘Kekhusyu’an nifaq hanya terlihat pada kehusyu’an raga sedangkan hatinya tidak pernah khusyu’.”
‘Umar RA berkata, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah Munafiq ‘Alim (yang berpengetahuan).” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin, seorang munafik memiliki sifat ‘alim.?” Ia menjawab, “Ia berbicara dengan penuh hikmah namun melakukan kezhaliman atau kemungkaran.”
Nifaq Ashghar merupakan sarana melakukan Nifaq Akbar sebagaimana halnya perbuatan-perbuatan maksiat adalah merupakan ‘kotak pos’ kekufuran.
Bentuk sifat nifaq ‘amali (praktis) yang paling besar adalah manakala seseorang melakukan suatu perbuatan, tampak berniat baik namun ia melakukan itu hanya agar dapat mencapai tujuan yang buruk. Dengan tipuan itu, ia lantas mencapai tujuannya, bergembira dengan makar dan tipuannya sementara orang-orang memujinya atas pertunjukan (kepura-puraan) yang membuatnya sampai kepada tujuan buruk yang dipendamnya itu.
Manakala di kalangan shahabat telah ditetapkan bahwa nifaq adalah adanya perbedaan antara perkara tersembunyi dan terang-terangan, maka sebagian mereka khawatir bila terjadi perubahan hati; konsentrasi, kekhusyu’an dan kelembutannya ketika mendengar adz-Dzikr (al-Qur’an) dengan menoleh dunia dan sibuk dengan urusan keluarga, anak dan harta di mana hal itu semua akan menjadi salah satu bentuk kemunafikan dari mereka. Karena itu, Rasulullah SAW sampai berkata kepada mereka, “Hal itu bukan termasuk kemunafikan.”
Perbedaan Antara Orang Munafik Tulen dengan Orang yang Munafik Biasa
Nifaq (hipokrit, bermuka dua) termasuk perbuatan tercela dan sangat berbahaya. Nifaq dilarang dan dibenci oleh Islam. Ketika terjadi perang Uhud, umat Islam mengalami kekalahan, antara lain karena orang-orang munafik melakukan pembangkangan dalam bentuk mengingkari perintah Rasulullah saw sebagai pemimpin perang, sehingga moral dan mental tentara Islam mengalami kegoncangan. Orang munafik cenderung bermuka manis, padahal dalam hatinya penuh dengan permusuhan terhadap umat Islam. Orang munafik itu ibarat musuh dalam selimut, menikam dari dalam, mengadu-domba dan memfitnah untuk memecah belah persatuan umat Islam. Inilah bahaya orang-orang munafik yang harus diwaspadai. Menurut hadits tersebut, ada dua tipe/kategori orang munafik, yaitu: (a) munafik tulen (100%) dan (b) munafik biasa.
Munafik tulen memiliki empat ciri/tanda, yaitu: berkhianat jika dipercayai (diberi amanat), berdusta jika berkata, mengingkari atau menyalahi jika berjanji, dan mau menang sendiri (curang) jika bertengkar atau berselisih paham.
Munafik biasa, menurut hadits Nabi tersebut, adalah orang yang memiliki salah satu dari empat sifat tersebut.
Nifaq dapat menghilangkan kepercayaan dari orang lain, merugikan orang diingkari janjinya, dan menimbulkan pertikaian dalam hidup bermsyarakat, berbangsa dan bernegara karena orang ini maunya menang sendiri, tidak toleran, menghargai pendapat orang lain, dan tidak menjunjung etika sosial. Orang munafik selain dibenci oleh masyarakat juga sangat dimurkai oleh Allah. Orang munafik tidak mendapat tempat dalam hidup bermasyarakat karena cenderung merugikan orang lain. Nabi bersabda:
تَِجدُ مِنْ شِرَارِ الناسِ يَوْمَ القِيَامَةِ عِنْدَ اللهِ ذَا الوَجْهَيْنِ يَأْتِيْ هَؤُلاءِ بِوَجْهٍ وَهَؤْلاءِ بِوَجْهٍ (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Kamu akan mendapati manusia yang jahat pada hari kiamat di depan Allah Swt. (ketika diadili), yaitu orang yang bermuka dua (munafik), yang pergi kepada segolongan umat dengan satu muka, dan ke golongan lain dengan muka yang lain pula.”
Orang munafik itu, menurut Ibn al-Qayyim, harus diperangi, karena keberadaan mereka dapat memabahayakan keamanan dan ketenteraman hidup umat Islam.
Ciri-Ciri Munafik Sejati
1. Dusta
Hadits Rasulullah yang diriwayatkan imam ahmad musnad dengan sanad jayid: yaitu seseorang yang berdusta agar orang2 tertawa."
Di dalam kitab Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), Rasulullah SAW bersabda: "Tanda orang munafik ada 3, salah satunya adalah jika berbicara dia dusta.
2. Khianat
Sabda Rasulullah SAW: "Dan apabila berjanji, dia berkhianat." Barangsiapa memberikan janji kepada seseorang, atau kepada isterinya, anaknya, sahabatnya, atau kepada seseorang dengan mudah kemudian dia mengkhianati janji tersebut tanpa ada sebab uzur syar'i maka telah hinggap pada dirinya salah satu tanda kemunafikan.
3. Fujur dalam pertikaian
Sabda Rasulullah SAW: "Dan apabila bertengkar (bertikai), dia melampau"
4. Ingkar Janji
Sabda Rasulullah SAW: "Tanda orang munafik ada 3: jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia ingkar, dan jika dipercaya (diberi amanat) dia berkhianat." (HR. Bukhari Muslim)
5. Malas Beribadah
Firman Allah SWT: "...dan apabila mereka berdiri untuk solat, mereka berdiri dengan malas..." (an-nisa': 142)
Jika orang munafik pergi ke masjid/surau, dia menyeret kakinya seakan-akan terbelenggu rantai. Oleh kerana itu, ketika sampai di dalam masjid/surau dia memilih duduk di shaf yang paling akhir. Dia tidak mengetahui apa yang dibaca imam dalam solat, apalagi untuk menyemak dan menghayatinya.
6. Riya'
Di hadapan manusia dia solat dengan khusyuk tetapi ketika seorang diri, dia mempercepatkan solatnya. apabila bersama orang lain dalam suatu majlis, dia tampak zuhud dan berakhlak baik, demikian juga pembicaraannya. namun, jika dia seorang diri, dia akan melanggar hal-hal yang diharamkan allah swt.
7. Sedikit Berzikir
Firman Allah SWT: "...Dan apabila mereka berdiri untuk bersolat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan solat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah SWT kecuali sedikit sekali. (An-Nisa': 142)
8. Mempercepat Solat
Mereka (orang2 munafik) adalah orang yang mempercepatkan solat tanpa ada rasa khusyuk sedikit pun. Tidak ada ketenangan dalam mengerjakannya, dan hanya sedikit mengingat Allah SWT di dalamnya. Fikiran dan hatinya tidak menyatu. Dia tidak menghadirkan keagungan, kehebatan, dan kebesaran Allah SWT dalam solatnya.
Hadith Nabi SAW: "Itulah solat orang munafik...lalu mempercepat empat rakaat (solatnya)"
9. Mencela orang-orang yang Taat dan Soleh
Mereka memperlekehkan orang-orang yang Taat dengan ungkapan yang mengandung cemuhan dan celaan. Oleh kerananya, dalam setiap majlis pertemuan sering kali kita temui orang munafik yang hanya membincangkan sepak terajang orang2 soleh dan orang2 yang konsisten terhadap Al-Quran dan As-Sunnah. Baginya seakan-akan tidak ada yang lebih penting dan menarik selain memperolok-olok orang2 yang Taat kepada Allah SWT
10. Memperolok-olok Al-Quran, As-Sunnah, dan Rasulullah SAW
Termasuk dalam kategori Istihzaa' (berolok-olok) adalah memperolok-olok hal2 yang disunnah Rasulullah SAW dan amalan-amalan lainnya. Orang yang suka memperolok-olok dengan sengaja hal-hal seperti itu, jatuh kafir.
Firman Allah SWT: "...Katakanlah: 'Apakah dengan Allah SWT, Ayat-Ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?' Tidak usah kamu minta maaf, kerana kamu kafir sesudah beriman..." (At-Taubah: 65-66)
11. Bersumpah Palsu
Firman Allah SWT: "Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai..." (Al-Munafiqun: 2, Al-Mujadilah: 16)
Jika seseorang menanyakan kepada orang munafik tentang sesuatu, dia langsung bersumpah. Apa yang diucapkan orang munafik semata-mata untuk menutupi kedustaannya. Dia selalu mengumpat dan memfitnah orang lain. Maka jika seseorang itu menegurnya, dia segera mengelak dengan sumpahnya: "Demi Allah, sebenarnya kamu adalah orang yang paling aku sukai. Demi Allah, sesungguhnya kamu adalah sahabatku.
12. Enggan Berinfak
Orang2 munafik memang selalu menghindari hal2 yang menuntut pengorbanan, baik berupa harta maupun jiwa. Apabila menjumpai mereka berinfak, bersedekah, dan mendermakan hartanya, mereka lakukan kerana riya' dan sum'ah. Mereka enggan bersedekah, kerana pada hakikatnya, mereka tidak menghendaki pengorbanan harta, apalagi jiwa.
13. Tidak menghiraukan nasib Kaum Muslimin
Mereka selalu menciptakan kelemahan2 dalam barisan muslimin. Inilah yang disebut At Takhdzil. iaitu, sikap meremehkan, menakut-nakuti, dan membiarkan kaum muslimin. Orang munafik berpendapat bahawa orang2 kafir lebih kuat daripada kaum muslimin.
14. Suka menyebarkan Khabar Dusta
Orang munafik senang memperbesar peristiwa/kejadian. Jika ada orang yang tergelincir lisannya secara tidak sengaja, maka datanglah si munafik dan memperbesarkannya dalam majlis2 pertemuan. "Apa kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan si fulan itu?" Lalu, dia pun menirukan kesalahan tersebut. Padahal, dia sendiri mengetahui bahawa orang itu mempunyai banyak kebaikan dan keutamaan, akan tetapi si munafik itu tidak akan mahu mengungkapkannya kepada masyarakat.
15. Mengingkari Takdir
Orang munafik selalu membantah dan tidak redha dengan takdir Allah SWT. Oleh kerananya, apabila ditimpa musibah, dia mengatakan: "Bagaimana ini. Seandainya saya berbuat begini, niscaya akan menjadi begini." Dia pun selalu mengeluh kepada sesama manusia. Sungguh, dia telah mengkufuri dan mengingkari qadha dan takdir.
Menjauhi Sifat-sifat Nifaq
Sebagai Muslim, kita wajib menjauhi sifat-sifat orang munafik tersebut, agar hidup kita selamat dunia dan akhirat. Di antara cara untuk menjauhi sifat-sifat munafiq adalah banyak beristighfar dan berdzikir kepada Allah melalui ibadah seperti shalat. Dalam hal ini Nabi Saw. Bersabda:
عن أنسٍ بْنِ مالِكٍ رضي اللهُ عنه قالَ: قالَ رسولُ اللهُ صلى اللهُ عليه وسلم: مَنْ صَلِّى للهِ أرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةِ يُدْرِكُ التَكْبِرَةَ الأوْلىَ كَتَبَ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ بَرَاءَةً مِنَ النَاَرِ وَبَرَاءَةً مِنَ النَِفاقِ (رواه الترمذي)
Artinya: “Dari Anas ibn Malik ra. Berkata, Nabi Saw. Bersabda: Barang siapa melaksanakan shalat karena Allah Swt. Selama empat puluh hari dengan berjamaah tanpa tertinggal takbiratul ula (takbir pertama), maka Allah akan menulis/mewajibkan baginya dua kebebasan, yaitu: bebas dari api neraka dan bebas dari kemunafikan.” (HR. al-Turmudzi)
Bahaya Orang Munafik
Ali Ra mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Sungguh aku tidak mengkhawatirkan seorang mukmin ataupun seorang musyrik atas umatku. Seorang mukmin akan dipelihara Allah dengan imannya daripada perbuatan mengganggu mereka dan seorang musyrik akan Allah patahkan gangguannya dengan sebab kemusyrikannya dari mereka. Tapi, aku sangat mengkhawatirkan seorang munafik yang pandai bersilat lidah, mengucapkan apa-apa yang kamu ketahui dan mengerjakan apa yang kamu ingkari ...'' (Nahjul Balaghah: 114).
Nabi dalam hadis tersebut mengingatkan kepada kita tentang bahaya orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang 'bermuka dua', lahirnya kelihatan baik, tetapi hatinya ternyata jahat. Secara lahir mereka baik, seakan-akan mereka teman kita, padahal mereka musuh kita. Mereka juga pandai bersilat lidah, perkataannya sangat menakjubkan dan meyakinkan, tetapi perbuatannya bertentangan dengan ucapan mereka sendiri.
Di depan kita mereka mengaku pembela kebenaran, penegak keadilan, pejuang hak asasi manusia, dan pendekar demokrasi. Tetapi, ternyata mereka adalah penghalang kebenaran, perusak keadilan, pelanggar hak asasi manusia, dan penghambat demokrasi.
Mereka juga mengaku pembela rakyat dan penolong kaum lemah, ternyata mereka adalah penipu (pengkhianat) rakyat dan zhalim terhadap kaum lemah. Bahkan, mereka dengan mudah berani bersumpah dengan nama Allah dan Alquran di atas kepalanya, tetapi tindakan mereka ternyata menipu Allah dan bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Alquran.
''Orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf (baik) dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah. Maka, Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.'' (QS At-Taubah: 67).
Sebagai umat Islam, kita perlu selalu waspada terhadap tipu daya mereka. Jika tidak, tipu daya mereka dapat menghancurkan umat Islam itu sendiri. Khalifah Umar bin Khattab terbunuh karena ulah orang munafik. Demikian pula kerusuhan yang terjadi di masa Khalifah Usman bin Affan dan perang saudara yang terjadi di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Maka, tidak menutup kemungkinan kerusuhan, kekacauan, dan perseteruan yang terjadi selama ini juga karena ulah orang-orang munafik. Allah SWT melarang mereka diangkat menjadi teman kita atau pemimpin dan pembantu-pembantu kita (QS 4:144), karena mereka hanya akan merugikan kita. Dengan jalan inilah insya Allah kita tidak akan salah memilih pemimpin-pemimpin atau pembantu-pembantu munafik yang hanya akan merugikan kita.















DAFTAR PUSTAKA

Razaq dan H. Rais Lathief. , 1978. Terjemah Hadits Sahih Muslim. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Damsyiki. Asbabul Wurud 1. (Jakarta: Penerbit Kalam Mulia). Hal: 9-10. Diterjemahkan Oleh: H.M. Suwarta Wijaya B.A dkk.
http://www.suntoyo.esmartweb.com/index.htm. diakses pada tanggal 01 maret 2010.
http://naqshbandiyun.blogspot.com/2007/02/ciri-ciri-munafik-sejati.html
http://www.fhian.katamutiara.blogspot.com/. Tawdhiih al-Ahkaam Min Buluugh al-Maraam Karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.VI, hal.311-314.
[ Read More ]

SYIRKAH (KERJASAMA)
A. Pengertian dan Hukum Syirkah
Secara bahasa kata asy-syirkah (الشركه) berarti al-ikhtilath (percampuran) dan persekutuan. Yang dimaksud dengan percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga sulit untuk dibedakan.
Sedangkan definisi sirkah secara etimologi dalam buku Fiqih Muammalah karya Prof.DR. H. Rachmat Syafe’i, MA. adalah:
الاختلاط اي خلط احد المالين بالاخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
“Percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dibedakan antara keduanya”
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama:
a. Menurut ulama Hanafiyah
عقد بين المتشاركين في راس المال والربح
Syirkah adalah akad antara dua orang yang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
b. Menurut ulama malikiyah
اذن فى التصرف لهما فى انفسهما فى مال لهما
Syirkah adalah izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
c. Manurut hasby Assidiqy
غقد بين شخصين فاكثر على التعون فى عمل اكتسابى واقتسام ارباحه
Syirkah adalah akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling tolong menolong dalam satu usaha dan membagi keuntungannya.
d. Menurut ulama Hanabilah
الاجتماع فى استحقاق او تصرف
Perhimpunan adalah hak (kewenangan) dan pengolahan harta (tasharruf)
e. Menurut ulama Syafi’iyyah
ثبوت الحق فى شئ لاثنين فاكثر على جهة الشيوع
Ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui).
Jika diperhatikan dari definisi-definisi di atas sesungguhnya perbedaan hanya bersifat redaksional saja namun secara esensial prinsipnya sama yaitu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha dengan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara bersama.
B. Landasan Syirkah
Syirkah memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam Islam. Sebab keberadaannya diperkuat oleh al-Qur’an, hadits dan ijma para Ulama. Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan pentingnya syirkah diantaranya terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 12.
…     …
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu” (QS. An-Nisa: 12)
Dalam surat shad ayat 24:
        •              •      •       
Artinya: Daud berkata: "Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS.Shad: 24)
Sedangkan dalam hadis Rasulullah bersabda:
عن ابى هريرة رفعه الى النبى ص م قال ان الله عز وجل يقول : انا ثالث الشركين مالم يخن احدهما صاحبه فاذاخانه خرجت من بينهما (روه ابوداود)
Artinya: “Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW. Bahwa Nabi saw bersabda,” Sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah orang ketiga dari dua hambaku yang bekerjasama selama keduanya tidak berkhianat. Jika salah satunya berkhianat maka Aku akan keluar dari kaduanya dan penggantinya adalah syeitan”. (HR. Abu Dawud).
Berdasarkan sumber hukum diatas maka secara ijma para ulama sepakat bahwa hukum syirkah itu adalah boleh. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.
C. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah ialah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan pendapat terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan qabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Istilah ijab kabul sering disebut dengan serah terima. Contoh lafadz ijab qabul, seseorang berkata kepada partnernya “ Aku bersyirkah untuk urusan ini” partnernya menjawab “telah aku terima”. Jika ada yang menambahkan selain ijab qabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut hanafiyah itu bukan termasuk rukun tapi termasuk syarat. Sedangkan menurut Abdurrahman Al-Jaziri rukun syirkah meliputi dua orang yang berserikat, shigot, obyek akad syirkah baik itu berupa harta maupun kerja. Sedangkan menurut jumhur Ulama rukun syirkah sama dengan apa yang diungkapkan oleh al-jaziri di atas.
Jika dikaitkan dengan pengertian rukun yang sesungguhnya maka sebenarnya pendapat al-jaziri atau jumhur uama lebih tepat sebab didalamnya terdapat unsur-unsur penting bagi terlaksananya syirkah yaitu dua orang yang berserikat dan obyek syirkah. Sedangkan pendapat Hanafiyah yang membatasi rukun syirkah pada ijab dan qabul saja masih bersifat umum karena ijab dan qabul berlaku untuk semua transaksi.
Sedangkan syarat syirkah merupakan perkara penting yang harus ada sebelum dilaksanakannya syirkah. Jika syarat tidak terwujud maka transaksi syirkah batal.
Menurut hanafiyah syarat-syarat syirkah terbagi menjadi empat bagian:
- syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah baik harta maupun lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat: pertama berkaitan dengan benda yang diakadkan (ditransaksikan) harus berupa benda yang dapat diterima sebagai perwakilan. Kedua yang berkaitan dengan keuntungan, pembagiannya harus jelas dan disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya setengah, sepetiga dan sebagainya.
- syarat yang terkait dengan harta (maal). Dalam hal ini ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu pertama modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pemabaran yang sah (nuqud) seperti riyal, rupiah, dolar. Kedua, adanya pokok harta (modal) ketika akad berlangsung baik jumlahnya sama atau berbeda.
- syarat yang terkait dengan syirkah mufawadhah yaitu: pertama, modal pokok harus sama. Dua, orang yang bersyirkah adalah ahli kafalah. Tiga, objek akad disyaratkan syirkah umum, yaitu semua macam jual beli atau perdagangan.
Selain syarat-syarat diatas juga ada syarat lain yang perlu dipenuhi dalam syirkah menurut Idris Ahmad, syarat tersebut meliputi:
1. mengungkapkan kata yang menunjukkan izin anggota yang berserikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu.
2. anggota serikat saling mempercayai. Sebab masing-masing mereka adalah wakil dari yang lainya.
3. mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berbentuk mata uang atau yang lainya.
Malikiyah menambahkan bahwa orang yang melaksankan akad syirkah disyaratkan merdeka, balig dan pintar (rusyd).
Dalam buku Fiqih Muamalah karangan Prof. Dr. H. Rahmat Syafei, MA. terdapat syarat-syarat syirkah ‘uqud. Menurut ulama Hanafiah syarat syirkah ‘uqud terbagi atas dua macam yaitu syarat ‘am (umum) dank has (khusus).
1. Syarat syirkah uqud
Syarat-syarat umum syirkah adalah:
- Dapat dipandang sebagai perwakilan, masing-masing dapat memnjadi wakil bagi yang lainnya.
- Ada kejelasan dalam pembagian keuntungan
- Laba merupakan bagian umum dari jumlah
2. Syarat khusus pada syirkah amwal baik pada syirkah inan maupun syirkah mufawwadhah:
a. Modal syirkah harus ada dan jelas
Jumhur ulama berpendapat modal harus ada, dan jelas, tidak boleh berupa hutang atau harta yang tidak ada ditempat baik ketika akad maupun pada saat jual beli.
Namun demikian jumhur ulama diantaranya ulama Hanafiah, Malikiyah, dan Hanabilah tidak mensyaratkan harus bercampur terlebih dahulu sebab penekanan syirkah terletak pada akad bukan pada hartanya. Maksud akad adalah pekerjaan dan laba. Dengan demikian tidak disyaratkan adanya percampura harta seperti pada mudharabah. Selain itu syirkah adalah akad dalam hal mendayagunakan harta yang mengandung unsur perwakilan maka dibolehkan mengelolanya sebelum bercampur.
Ulama malikiyah memandang bahwa tidak disyaratkannya percampuran tidak berarti menghilangkan sama sekali tetapi dapat dilakukan secara nyata atau berdasarkan hukumnya.
Ulama syafiiyyah, Zafar dan Zahiriyah mensyaratkan adanya percampuran harta sebelium akad. Dengan demikian jika dlakukan percampuran harta setelah akad hal itu dipandang tidak sah.
b. Modal harus bernilai dan berharga secara mutlak
Ulama fikih dari empat madzhab sepakata bahwa modal harus berupa sesuatu yang bernilali secara umum, seperti uang.
3. Syarat khusus syirkah mufawadah
a. Setiap aqid harus ahli dalam hal perwakilan dan jaminan, keduanya harus merdeka, baligh, berakal, sehat dan dewasa.
b. Ada kesamaan modal, dari segi ukuran,harga awal dan akhir.
c. Apapun yang pantas dijadikan modal dari salah seorang yang bersekutu dimasukkan dalam pengongsian
d. Ada kesamaan dalam pembagian keuntungan
e. Ada kesamaan dalam berdagang. Tidak boleh dikhususkan pada seorang yang atas saja juga tidak berserikat dengan orang kafir.
f. Pada saat transaksi atau akad harus menyebutkan mufawwadhah.
Persyaratan diatas harus terpenuhi, jika tidak atau ada yang kurang, maka perserikatan tersebut berubah menjadi al-inan.
D. Macam-Macam Syirkah
Para ulama Fikih membagi syirkah menjadi dua macam:
1. Syirkah amlak (perserikatan dalam kepemilikan)
2. Syirkah al-uqud ( perserikatan berdasarkan aqad)
1. Syirkah amlak
Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan syirkah amlak adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa aqad baik yang bersifat ikhtiari atau jabari. Artinya barang tersebut dimiliki oleh dua orang atau lebih tanpa didahului oleh aqad. 9
Sedangkan menurtu Rahmat Syafei, syirkah amlak adalah syirkah yang didalamnya terdapat dua orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya aqad. Hak kepemilikan tanpa akad itu bisa disebabkan oleh dua sebab:
a. ikhtiari atau disebut (syirkah amlak ihktiari) yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang sepakat membeli satu barang atau keduanya menerima hadiah, wasiat atau wakaf dari orang lain maka benda-benda tersebut menjadi harta serikat (bersama) bagi mereka berdua.
b. Jabari (syirkah amlak jabari) yaitu perserikatan yang muncul secara paksa (bukan keinginan orang yang berserikat) artinya hak milik bagi mereka berdua atau lebih tanpa dikehendaki oleh mereka. Seperti harta warisan yang mereka terima dari bapaknya yang sduah wafat. Harta warisan tersebut menjadi hak milik bersama bagi mereka yang memiliki hak warisan.
Hukum syirkah amlak
Menurut para fuqoha hukum kepemilikan syirkah amlak disesuaikan dengan hak masing-masing yaitu bersifat sendiri-sendiri secara hukum. Artinya seseorang tidak berhak untuk menggunakan atau menguasai milik mitranya tanpa izin dari yang bersangkutan. Karena masing-masing mempunyai hak yang sama. Hukum yang terkait syirkah amlak ini secara luas dibahas dalam fiqih bab wasiat, waris, hibah dan wasiat.
2. syirkah ‘uqud
Yang dimaksud dengan syirkah ‘uqud adalah dua orang atau lebih melakukan aqad untuk bekerjasama (berserikat) dalam modal dan keuntungan. Artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungannya.
- pembagian syirkah uqud dan hukumnya
a. syirkah inan yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal yang lebih besar dari pihak lain. Demikian halnya dengan beban tanggung jawab dan kerja, boleh satu pihak bertanggungjawab penuh sedangkan pihak lain tidak. Keuntungan dibagi dua sesuai prosesntase yang telah disepakati. Jika mengalami kerugian maka resiko ditanggung bersama dilihat dari prosesntase modal. Sesuai dengan kaidah:
الربح على ما شرطا والوضيعة على قدر المالين.
“keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing.”
Para ulama fiqih sepakat bahwa bentuk perserikatan ini hukumnya boleh. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan persyaratannya sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam memberikan namanya
Sedangkan dalam bukunya Bapak Rahmat Syafei dikatakan bahwa perserikattan inan adalah persekutuan antara dua orang dalam harta milik untuk erdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau kerugian bersama-sama. Perserikatan jenis ini banyak dilakukan manusia karena didalamnya tidak di sayaratkan adanya kesamaan dalam modal dan pengelolaan (tasharruf).
b. Syirkah al-mufawwadhah. Secara etimologi, mufawadhah artinya persamaa. Dinamakan mufawadhah antara lain karena dalam syirkah ini diharuskan adanya kesamaan dalam modal, keuntungan, serta bentuk kerjasama lainnya.
Menurut istilah mufawadhah adalah transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah modal, peelitian keuntungan, pengolahan serta agama yang dianut. Dengan demikian, setiap orang akan menjamin yang lain, baik dalam pembelian atau penjualan. Orang yang bersekutu tersebut saling mengisi dalam hak dan kewajibannya yakni masing-masing menjadi wakil yang lain.
Ulama hanafiah dan zaidiyah membolehkan perserikatan jenis ini berdasarkan sabda Nabi saw:
فاوضوا فانه اعظم للبركة
“Samakanlah modal kalian sebab hal itu lebih memperbesar barokah”
Alasan lainnya adalah masyarakat banyak yang melakukan perserikatan ini disetiap generasi, namun tidak ada ulama yang menolanya.
Ulama maliki membolehkan jenis perserikatan ini namun bukan dengan pengertian yang dikemukakan hanafiah diatas. Mereka membolehkan perserikatan ini dalam pengertian bahwa masing-masing yang melangsungkan akad memiliki kewenangan atau kebebasan dalam mengolah modal tanpa membutuhkan pendapat sekutunya.
Akan tetapi ulama syafiiyyah, hanabilah dan kebanyakan ulama fikih lainnya menolak syirkah mufawadhah ini dengan alasan, syirkah semacam ini tidak dibenarkan oeh syara’. Disamping itu untuk merealisasikan adanya kesamaan sebagai syarat dalam pengongsian ini sangatlah sulit dan mengundang unsure penipuan (gharar). Oleh karena itu dipadang tidak sah sebagaimana pada jual beli gharar.
Menurut sayyid sabiq ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
a. jumlah modal masing-masing sama, jika berbeda maka tidak sah
b. memiliki kewenangan bertindak yang sama. Maka tidak sah syirkah antara anak kecil dengan orang dewasa
c. agama yang sama. Maka tidak sah syirkah antara muslim dengan non muslim
d. masing-masing pihak dapat bertindak menjadi penjamin bagi yang lain atas apa yang dibeli dan dijual.
c. Syirkah al-‘Abdan yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan. Artinya perserkatan dua orang atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan seperti tukang besi, kuli angkut, tukang jahit, tukang celup, tukang service elektronik dan sebagainya. Syirkah abdan (fisik) juga disebut syirkah amal (kerja), syirkah shana’i (para tukang) dan syirkah taqabbul (penerimaan).
Tentang hukum-nya ulama malikiyah, hanafiyah hanabilah, zahidiyah memperbolehkan syirkah abdan ini. Karena tujuannya syirkah ini mencari keuntungan dengan modal pekerjaan secara bersama.
Namun dengan ulama malikiyah mensyaratkan untuk keshahihan syirkah itu yaitu harus ada kesatuan usaha. Selain itu keduanya harus berada ditempat yang sama, kemudian hendaklah pembagian keuntungan sesuai dengan kadar pekerjaan dari orang yang bersekutu.
Ulama hanabilah meperbolehkan syirkah ini sampai pada hal-hal yang mubah seperti: pengumpulan kayu bakar, rumput, dan lain-lain hanya saja mereka dilarang kerjasama dalam hal makelar.
Ulama Syafi’iyyaah, imamiyah dan zafar dari golongan hanafiyah berpendapat bahwa syirkah ini batal karena syirkah itu dikhususkan pada harta dan tidak pada pekerjaan. Mereka beralasan antara lain perserikatan dalam bidang pekerjaan mengandung unsure penipuan sebab salah seorang dari yang bersekutu tidak mengetahui apakah temannya bekerja atau tidak. Selain itu kedua orang tersebut bebeda dalam segi postur tubuh, aktiviitas dan kemampuannya.
d. Syirkah al-wujuh yaitu perserikatan tanpa modal artinya dua orang atau lebih membeli suatu barang tanpa modal, yang terjadi adalah hanya berpegang kepada nama baik dan kepercayaan para pedagang terhdap mereka. Dengan catatan keuntungan untuk mereka. Syirkah ini adalah syirkah tanggungjawab yang tanpa kerja dan modal. Artinya dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali dapam melakukan pembelian dengan kredit dan menjualnya dengan harga tunai. Syirkah semacam ini sekarang mirip dengan makelar. Mereka berserikat membeli barang dengan kredit kemudian di jual dengan cara tunai dan keuntungannya dibagi bersama. Menurut syafi’iyah, malikiyah, zahiriyah dan syi’ah imamiyah syirkah semacam ini hukumnya bathil karena modal dan kerja tidak jelas. Sedangkan dalam syirkah harus ada modal dan kerja. Sedangkan menurut ulama hanafiyah, hanabilah, dan zahidiyah hukumnya boleh karena masih berbentuk suatu pekerjaan dan masing-masing pihak dapat bertindak sebagai wakil disamping itu mereka beralasan syirkah ini telah banyak dilakukan oleh umat islam dan tidak ada ulama yang menentangnya.
Syirkah wujuh disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (maal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhrabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya. Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujuh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing
memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan. Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudharabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam. Namun demikian, ketokohan yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah maaliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah maaliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
e. Syirkah mudharabah yaitu persetujuan antara pemilik modal dengan seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal saja. Menurut hanabilah mudharabah dapat dikatakan sebagai syirkah jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. pihak-pihak yang berserikat cakap dalam bertindak sebagai wakil
b. modalnya berbentuk uang tunai
c. jumlah modal jelas
d. diserahkan langsung kepada pekerja (pengelola) dengan itu setelah akaq disetujui
e. pembagian keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu bukan dari harta yang lain.
Tapi menurut jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, syafi’iyyah, Zahiriyah, dan syi’ah imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupakan akad tersendiri dalam bentuk kerjasama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.
E. Hikmah Syirkah
Manusia tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan. Ajaran islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan siapapun terutama dalam bidang ekonomi dangan prinsip saling tolong menolong dan saling menguntungkan, tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa kerjasma maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup. Syirkah pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama yang saling menguntungkan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh karena itu islam menganjurkan umtanya untuk bekerjasama kepada siapa saja dengan tetap memegang prinsip sebagaimana tersebut di atas. Maka hikmah yang dapat kita ambil dari syirkah adalah adanya tolong menolong, saling membanatu dalam kebaikan, menjauhi sifat egoisme, menumbuhkan saling percaya, menyadari kelemahan dan kekurangan dan menimbulkan keberkahan dalam usaha jika tidak berkhianat dan lain sebagainya. Allah swt berfirman dalam surat al-Maidah ayat 2:
                             •                      •   •    
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah,, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Rasulullah bersabda:
“ Allah akan menolong dua orang yang berserikat selama mereka tidak saling berkhianat.”





JI’ALAH (MENGUPAH)
A. Pengerian Dan Hukum Ji’alah
Kata ji’alah secara bahasa berarti mengupah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh sayyid sabiq.
عقد على منفعة يظن حصوله
“Sebuah aqad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh.”
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh para fuqoha adalah memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi ji’alah bukan hanya terbratas pada barang yang hilang namun bisa pada setiap pekerjaan yang bisa menguntungkan seseorang.
Menurut H. Sulaiman Rasidj, dalam bukunnya fiqih islam, ji’alah adalah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan.
Sedangkan dalam sebuah artikel dikatakan bahwa ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.
Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .
Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
Kata ji’alah bisa dibaca ja’alah. Pada zaman Rasulullah ji’alah sudah dipraktekkan. Dlam sahih bukhari dan muslim terdapat hadis yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.
B. Landasan hukumnya
Jumhur fuqoha sepakat bahwa hukum jialah mubah. Hal ini didasari karena jialah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Jialah merupaka akad yang sangat manusiawi. Karena seseorang dalam hidupnya tidak mampu untuk memenuhi semua pekerjaan dan keinginannya kecuali jika ia memberikan upah kepada oramh lain untuk membantunya. Contoh orang yang kehilangan dompet maka sangat sukar jika ia mencari sendiri dompetnya yang hilang tanpa bantuan dari orang lain. Maka ia meminta kepad orang lain untuk mencarinya dengan iming-iming upah dari pekerjaannya itu.
Dalam hal lain yang masih termasuk jialaah, Rasulullah membolehkan memberikan upah atas pengobatan yang menggunakan bacaan Al-Qur’an dengan surat al-fatihah.
Dalam al-qur’an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Hal itu ditegaskan dalam al-qur’an surat Yusuf ayat 72
            
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya".”
C. Pelaksaan Jialah
Teknis pelaksanaan jialah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama bisa ditentukan orangnya mislanya si Budi. Maka si Budi dengan sendirinya berusaha mencari barang yang hilang. Kedua bias secara umum artinya orang yang diberi pekerjaan mencari barang bukan satu orang tapi bersifat umum yaitu siapa saja. Misalnya seseorang berkata: “Siapa saja yang mengembalikan binatangku yang hilang maka aku akan berikan imbalan sekian”.
Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa jialah tidak disyaratkan datang dari si pemilik barang yang hilang. Siapa saja yang mengatakan “siapa yang dapat mengembalikan barang yang hilang kepunyaan si fulan maka ia akan ku berikan upah sekian”. Kemudian ada orang yang mengembalikan barang tersebut baik dia mendengar berita itu dari yang mengatakan tadi ataupun berita itu disampaikan oleh orang lain ketelinganya maka ia berhak menerima jialah(upah). Hal tersebut dapat dibenarkan karena dalam jialah tidak disyaratkan kehadiran dua pihak yang berakad namun disyaratkan besar jumlah upah yang harus diterima artinya ia harus tahu berapa jumlah upah yang harus ia terima artinya ia harus tahu berapa jumlah yang akan ia terima jika berhasil mengembalikan barang karena hal ini sama dengan sewa-menyewa. Kalau upah yang akan diberikan itu majhul (tidak diketahui) maka hukumnya fasid (rusak). Bagaimna jika orang yang mengembalikan barang yang hilang itu jumlahnya bukan satu orang. Maka upahnya dibagi rata karena mereka semua sama-sama bekerja meskipun kualitas kerjanya tidak sama.
E. Rukunnya
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam jialah:
1. lafadz. Lafadz itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan jialah tanpa seijin orang yang menyuruh (yang punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan jika barang itu ditemukan.
2. orang yang menjanjikan memberikan upah. Bisa berupa ornag yang kehilangan barang atau orang lain.
3. pekerjaan (mencari barang yang hilang)
4. upah harus jelas, sudah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
F. Pembatalan jialah
Masing-masing pihak boleh menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.
G. Hikmahnya
Jialah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengambalikan sesiuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan jialah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong menolong dan bahu membantu. Dengan jialah akan terbangun sebuah semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan jialah sebagai sebuah pekerjaan yang baik, islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan surga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahNya seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan baik yang ia kerjakan. Allah berfirman dalam surat al-Zalzalah ayat 7
      
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”

DAFTAR PUSTAKA
Abu Amar, Imron. 1983. Terjemah fathul qarib. Kudus: Menara Kudus.
Ghazali, Abdurrahman dkk. 2008. Fiqh Muammalat. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Rasjid, H. Sulaiman. 1994. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqh Sunnah Jilid III. Beirut: Darul-fikr.
Syafei, Rahmat. 2001. Fiqih Muammalah. Bandung: Pustaka Setia.
Taqiyuddin An-Nabhani. 1990. Terjemah An-Nizham al-Iqtisaadi fi al-Islaam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
[ Read More ]